Selasa, 24 Maret 2015

Download Mp3 Siti Nurhaliza



1. Bisikan Hati (3.9 MB) Putar | Download
2. Bukan Cinta Biasa (4 MB) Putar | Download
3. Cindai (6.7 MB) Putar | Download
4. Es Lilin (3.7 MB) Putar | Download
5. Janji (4.6 MB) Putar | Download
6. Laksamana Mati Dibunuh (4.9 MB) Putar | Download
7. Lela Manja (4.1 MB) Putar | Download
8. Nirmala (5.3 MB) Putar | Download
9. Wajah Kekasih (4.8 MB) Putar | Download
10. Lea Manja (Karaoke Version) [4.2 MB] Putar | Download

Rabu, 23 April 2014

Membuat Pagar Gaib

Membuat Pagar Gaib
Suasana pun terasa berubah, kini, ia bisa tidur dengan nyenyak dan tidak ada lagi rasa khawatir yang menggayuti perasaannya.......

________________________________________

Burhan mendadak gelisah. Pasalnya, saat ini mulai memasukan barang-barang ke rumah barunya yang terletak di salah satu kompleks perumahan di timur Jakarta, tiba-tiba, satpam yang tengah patroli bergumam; "Alhamdulillah, sudah ada yang nempati. Mudah-mudahan gak serem lagi."

Gumaman itu terus saja terngiang-ngiang di telinga Burhan, sehingga membuatnya menjadi risau. Kian hari, perasaan itu kian mencekam, apa lagi, tetangga baru yabg mukim di sebelah depan, rumahnya dibobol maling, sehingga beberapa perhiasan milik istrinya pun raib.

"Ternyata benar apa kata orang-orang tua, mukim atau berkumpul di tengah-tengah keluarga lebih nyaman," desisnya.

"Maksudnya?" Tanya Puji, sang istri dengan cemberut.

"Ya ... kalau rumah kita dikelilingi oleh rumah-rumah keluarga, rasanya lebih aman. Bayangkan, hampir tiap hari, aku harus gelisah. Tidur tidak pernah nyanyak, kalau di kantor, perasaanku selalu was-was," sahut Burhan dengan nada yang mulai tiinggi.

Melihat keadaan sang suami yang mulai emosi, Puji hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan menangis. "Rasanya, punya rumah bekannya bertambah tenang...," gumamnya.

Burhan langsung tersentak. Ia langsung memeluk Puji, sang istri yang tengah mengandung muda itu. "Yah ... aku hanya ingin, rumah ini menjadi istana keluarga kita. Tetapi apa daya, cerita-cerita dan kejadian yang menimpa tetangga kita, membuatku menjadi was-was," kata Burhan sambil membelai rambut istrinya dengan penuh kasih.

Puji pun langsung bersandar di dada bidang Burhan sambil berkata menenangkan; "Serahkan semuanya kepada Allah, karena, hanya kepada Dia kita meminta, menyembah dan kembali nantinya."

Burhan bagai tersentak. Akhirnya, ia langsung mendekap lebih erat tubuh istrinya sambil menghembuskan napas panjang. Ya ... Burhan seolah mendapatkan jawaban dari kegelisahan selama ini.

Tampaknya, ketenangan keluarga muda itu tak berlangsung lama. Menginjak bulan ketiga, satpam yang biasa berkeliling mendadak berteriak keras, "Toloooong ...!" Dan langsung jatuh pingsan tepat di depan rumah Burhan.

Kegundahan pun terjadi. Burhan, Rangga, Chandra, dan Oca yang rumahnya saling berhadapan itupun langsung saja keluar dan memberikan pertolongan. Mereka saling bersitatap karena benar-benar tak mengerti apa yang telah terjadi. Dan setelah diberi pertolongan seperlunya, Rusdi, sang satpam pun sadar.

Setelah meminum beberapa teguk air dan menenangkan diri beberapa saat, akhirnya, Rusdi pun bercerita. "Tadi saya melihat ada bayangan dua orang di jendela rumah Pak Burhan. Begitu saya dekati, mendadak, bayangan itu hilang dan tercium bau bangkai yang amat menyengat. Ketika berbalik, di depan saya, tampak sesosok tubuh tanpa kepala dalam keadaan yang sangat rusak. Ketika itu, saya hanya bisa berteriak minta tolong dan tak ingat apa-apa lagi...."

Sebenarnya, Burhan, Rangga, Chandra, dan Oca ingin merahasiakan apa yang dikatakan oleh Rusdi kepada para istrinya. Tetapi apa daya, istri Burhan dn Chandra diam-diam mendengarkan segala ocehan Rusdi dengan sangat gamblang. Maklum, mereka bicara sambil berdiri di depan rumah Burhan.

Ahkirnya, Rusdi yang memang tak pernah mengenal rasa takut itu mohon diri untuk kembali bertugas. Sementara, keempat lelaki muda itupun kembali ke rumah masing-masing....

Sejak kejadian itu, perumahan yang baru dihuni oleh puluhan keluarga muda itu tampak lengang. Tak seperti biasanya, bila malam menjelang, orang lebih senang berada di rumah masing-masing ketimbang duduk-duduk di taman yang ada di sudut jalan itu. Ya ... semua penghuni dicekam oleh ketakutan yang teramat sangat. Apa lagi, berita tentang kejadian itu dengan cepat menyebar ke seluruh kompleks.

Seperti kebiasaan; tiap Minggu pagi, semua keluarga biasa duduk-duduk atau berolah raga ringan di taman yang ada di sudut kompleks. Nah ... pada waktu itu, langsung terdengar beragam komentar tentang peristiwa yang menimpa Rusdi, salah satu satpam kompleks. Ada yang menanggapinya dengan dingin, seolah menunjukkan tidak terganggu, tetapi banyak juga yang mengeluarkan umpatan; "Developernya cuma cari untung, masak jual rumah plus sama setannya."

"Mungkin waktu mbangun gak pake slametan segala," kata salah seorang keluarga muda yang mengaku tahu keadaan perumahan itu jauh sebelum dibangun. "Sebab, dulu, di sini rawa yang tengah-tengahnya tumbuh pohon rengas yang angker ada di tengah-tengahnya," tambanya.

"Selain buat hinggap kelelawar, di pohon rengas itu itu juga ada 'perkutut majapahit' ... burung perkutut putih yang suaranya merdu tetapi susah ditangkap," imbuhnya dengan bangga.

Burhan tercekat, betapa tidak, semasa di kampungnya, Nganjuk, Jawa Timur, ia pernah mendengar betapa perkutut majapahit bisa berubah wujud menjadi ular brbisa --- dan konon, hanya yang beruntung atau berwatak baik yang bisa memelihara binatang keramat itu. Oleh karena itu, ia enggan untuk menimpali, bahkan, ketika di rumah, ia juga tidak menceritakan apa yang didengarnya kepada istrinya.

Malam kian tua, suara lolongan anjing yang kadang terdengar membuat bulu kudk siapa pun bakal meremang. Di tengah-tengah tidur pulasnya. Mendadak, telinga Burhan, samar mendengar ketukan di pintunya; "Asalamu'alaikum."

Dengan malas, Burhan pun menyahut sambil berjalan ke arah pintu; "Wa'alaikumsalam."

Burhan mengintip dari balik tirai, ternyata, Rusdi datang dengan seseorang. Setelah Burhan membukakan pintu, terdengar suara Rusdi; "Maaf Pak Burhan, saya mengantrkan tamu."

"Hai ... Aru," teriak Burhan sambil menghambur memeluk tamunya.

Setelah saling mengucapkan terima kasih, Burhan pun mempersilahkan Aru, sahabatnya untuk masuk, sementara, Rusdi kembali ke pos-nya. Di tengah-tengah keduanya asik brbincang melepas kerinduan, Puji pun terjaga dan keluar dari kamar. "Eh ... Aru, dari mana kok malem banget," berondongnya.

"Mau kopi ya," imbuhnya sambl berjalan ke arah dapur.

Aru hanya tersenyum, ia tak pernah merasa sungkan karena ketiganya memang merupakan sahabat karib sejak di kampus.

"Kalau ada dan gak males, nasi goren juga boleh," sahut Aru sambil tertawa.

"Beres," sahut Puji. Dan tak lama kemudian, terdengar kesbukan di dapur. Tak sampai lima belas menit, Puji sudah kembali dengan dua gelas kopi, sepiring nasi goren dan makanan kecil.

Ketiganya langsung duduk melepaskan kerinduan. Maklum, sudah dua tahun mereka tidak bertemu kecuali hanya mengirim berita leawt SMS atau telepon. Dalam pembicaraan,, akhirnya, tak sadar, Burhan mengeluhkan keangkeran kompleks tempatnya tinggal. Aru yang memang keturunan suku Dayak Punan dengan tekun mendengarkan dan sesekali mengeluarkan senyum.

"Sebenarnya, hal itu mudah ditangkal kalau tahu caranya," ujarnya dengan dingin.

"Maksudnya?" Potong Burhan dan Puji bersamaan.

"Buat pagar gaib. Pertama-tama, ambil sebilah pisau yang sudah tidak terpakai, kalau mungkin yang sudah berkarat, segenggam garam yang kasar, bangle seruas, bawang putih tunggal sebuah, jeruk purut yang lonjong sebutir. Semua bahan tadi masukkan dalam kantong berwarna merah dan letakkan di atas pintu atau bubungan rumah," ujarnya kalem.

"Biasanya, berbagai gangguan yang bersifat buruk, baik dari manusia atau pun makhluk halus tidak berani masuk," imbuhnya.

"Akan lebih baik dan semakin kuat jika kalian tidak meninggalkan shalat dan tiap malam Jumat mengaji di rumah," lanjutnya lagi.

Paginya, Burhan yang memang sudah mencatat segala keperluan yang semalam diterangkan oleh Aru langsung berbelanja ke pasar. Dan setelah itu, ia langsung memsukkannya ke dalam kantong berwarna merah dan menggantungkannya di bubungan rumahnya. Sejak itu, suasana di dalam rumah Burhan pun terasa lebih sejuk dari sebelumnya. Kini, keduanya boleh tersenyum dan tidar dengan nyenyak. (*)

Jumat, 22 November 2013

Cinta Diantara Benci

Cinta Diantara BenciOleh: A. Yenny

Mario terlempar dan sebuah bayangan seperti roh keluar dari tubuhnya. Badannya jatuh di lantai dan tidak bergerak-gerak lagi.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • •


"Hei!! Chin!! Tunggu aku dong!" teriak seseorang. Aku membalikkan badanku untuk mencari asal suara itu. Aku melihat Finda di gerbang sekolah melambai-ambaikan tangannya padaku, lalu dia berlari kencang menghampiriku.

"Chin, kamu sudah dengar kalau ada anak baru?" tanyanya, serius.

"Kamu dengar dari mana tuh gosip? Kok aku tidak tahu, ya."

"Makanya bergaul dong. Jangan hanya di kelas melulu saat istirahat. Dasar kutu buku." Ledek Finda. "Pasti kamu penasaran. Hari ini anak itu masuk di kelas kita. Katanya sih pindahan dari Irja. Kalau tidak salah sih namanya... Mario," sambungnya lagi.

Aku termangu, mendengar gosip Finda. Kami sudah tiba di kelas, ternyata belum banyak yang datang. Aku tidak terlalu memperhatikan siapa yang telah datang, kalau Finda tidak menyenggolku.

"Chin. Lihat cowok itu yang sedang membaca di sudut? Mungkinkah dia Mario?" bisiknya.

Mungkin dia mendengar bisikan Finda yang memang cukup keras hingga dia mengangkat wajahnya. Dia memandang kami dan tersenyum.

Tidak dirasa seminggu Mario di kelasku. Mulanya aku tidak pedulikan dia, tapi karena aku merasa tidak enak pada Finda, aku membantu dia mengajari pelajaran yang tertinggal. Tanpa dirasa belajar, ke kantin, ke perpustakaan, ke toko buku, dan kemana saja selalu kami lakukan bersama-sama.

Berkali-kali Mario ingin tahu alamat rumahku, tapi aku selalu tidak mau memberitahu padanya. Aku tidak ingin dia datang ke rumahku, karena aku malu dengan rumahku yang kecil. Sedangkan rumahnya sangat besar. Hingga suatu saat, aku tidak dapat menolaknya, karena tanpa pemberitahuan atau meminta izin dia datang ke rumahku.

"Rio, dari mana kau tahu alamatku?"

"Pokoknya tidak akan aku beritahu! Titik!"

Tiba-tiba Mama keluar menegurku. "Chintya, ada tamu kok tidak diberi minum?!"

"Wah sori... sori. Aku lupa." Aku tersenyum malu-malu. Aku langsung ke dapur. Aku tidak tahu telah terjadi hal apa. Saat aku keluar, aku mendapati Mario sendirian, berdiri di depan pintu sambil merenung. "Hei! Kamu datang kesini untuk melamun atau bertamu sih?!"

Mario kaget saat aku menepuk pundaknya dengan keras. Ia langsung membalikkan badan dengan kasar. Aku kaget dan lebih kaget lagi saat wajahnya keruh dan memerah.

"Rio, kenapa kamu?"

"Chin, apakah kedatanganku mengganggumu. Mengapa Mamamu tidak senang melihatku?!"

"Apa yang Mama katakan padamu?"

"Saat kamu masuk tadi, Mamamu menghampiriku. Tapi setelah bertemu muka denganku, aku melihat Mamamu kaget dan langsung berubah sikap padaku, agak ketus. Walaupun tidak secara langsung, Mamamu mengusirku. Apa salahku Chin?"

Dengan lesu ia duduk di sampingku. Berkali-kali aku dengar ia menarik napas panjang. Aku mengerti perasaannya, karena kau pun kebingungan dengan sikap Mama, padahal selama teman-temanku datang, Mama tidak pernah bersikap seperti ini.

"Chin, aku mau pulang. Tapi... boleh aku minta tolong?"

"Apa? Kalau aku bisa, pasti kutolong."

"Bisa kamu tanyakan pada Mamamu, mengapa Mamamu bersikap demikian kepadaku? Boleh?"

"Tentu saja boleh. Aku pun ingin mengetahuinya."

"Thanks. Tapi kamu mau berjanji, biarpun itu menyakitkan, kamu tetap memberitahuku?"

"Ya, aku janji."

Saat Mario pulang, aku sebenarnya ingin bertanya langsung pada Mama, tapi aku takut kalau Mama masih marah. Jadi kutunggu sampai hati Mamatenang, barulah aku bertanya.

Tapi aku tidak perlu tunggu terlalu lama. Dua hari kemudian, tanpa kutanya Mama memberitahu sendiri padaku. Saat Papa, Mama, aku dan Shintya, adikku, sedang makan malam, Papa menyuruh kami tetap di meja makan sehabis makan, karena ada yang Mama ingin bicarakan dengan kami.

"Chintya, Shintya, ada yang Mama bicarakan. Mungkin Chin sudah bisa ditebak, memang ini tentang temanmu yang bernama Mario."

Kami semua diam mendengarkan, tidak berani komentar. Aku semakin tegang, padahal tadi sudah agak tenang.

"Mama sebenarnya bukan tidak senang kamu bergaul dengan Mario, Chin. Dulu saat Mama masih pacaran dengan Papamu, Mama bertemu dengan papanya Mario. Mama hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Tapi ternyata Papanya Mario menganggap perhatian Mama lain. Dia ingin Mama jadi pacarnya, tapi Mama menolak." Mama langsung memandang Papa dengan mesra.

"Saat dia mengetahui Mama akan menikah dengan Papamu, dia marah sekali. Papanya Mario menculik Mama dan memaksa Mama agar menikahinya dengan menggunakan ilmu hitam. Untung Mamamu dapat selamat berkat nenekmu yang memiliki kemampuan telepati, sehingga tahu dimana Mama disembunyikan. Sekarang Shintya yang mewarisi bakat paranormal dari nenek, bisa meraba apa yang akan terjadi, tapi gunanya untuk kebaikan."

Aku memandang Shintya dengan terkagum-kagum. Shintya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar cerita Mama.

"Pantas saja Ma. Belakangan ini Shintya selalu ketakutan kalau Kak Chin keluar. Beberapa kali Shintya melihat Kak Chin akan mengalami kejadian buruk. Tapi karena takut nggak beralasan, Shintya diam saja..."

Kami semua terhenyak mendengar hal itu dan saling pandang memandang.

"Baiklah, Mama akan melanjutkan cerita ini."

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Papa memandang Mama.

"Aku baik-baik saja. Benar!" Mama menekan kata-katanya, saat melihat Papa masih ragu-ragu. Akhirnya Papa mengangguk setuju. Mama kemudian melanjutkan kisahnya.

"Sesudah mengetahui keberadaan Mama, Nenek langsung datang, membantu Mama melawan Papanya Mario dan dia dapat dikalahkan. Sebelum melarkan diri, dia bersumpah akan kembali membalas dendam. Karena itulah Mama takut saat bertemu dengan Mario. Wajah Mario sangat mirip dengan Papanya, seperti pinang dibelah dua. Apalagi saat Mama bertanya siapa nama Papa dan Mamanya."

Aku hanya termangu mendengar cerita Mama. Aku tidak tahu harus berkata apa. Ruang makan menjadi sangat sunyi. Hanya detak jam dinding saja yang berbunyi.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Sebenarnya aku ingin menceritakan pada Mario keesokan harinya. Tapi aku takut dia tidak menerima kenyataan, karena dia sangat taat beribadah. Dan entah kenapa, sejak kepulangannya dari rumahku tempo hari dia semakin hari makin menjauh dari. Dia tidak seperti dulu lagi.

Tidak dirasa sudah dua bulan berlalu. Aku semakin tidak mengerti dengan sikapnya yang bertambah dingin. Dia kini banyak bergaul dengan anak-anak nakal di sekolah. Sering bolos dan berkelahi.

Hingga suatu hari, sikapnya berubah kembali seperti dulu. Sangat manis dan bersahabat. Kemudian, ia mengajakku ke rumahnya. Aku pun sudah kangen dengan Mamanya yang sangat ramahdan baik, karena itu aku mau. Tanpa kusadari ia tidak membawaku ke rumahnya, tapi entah kemana.

"Sudah ampai! Ayo turun! Jangan melamun saja!" tegurnya kasar saat melihatku tidak turun-turun dari mobil. Aku kaget. Saat aku sadar dari lamunanku, aku mendapati sebuah rumah yang sangat kuno dan tidak terawat.

"Rio, ini dimana? Kamu bilang..."

"Ah, kenapa kamu lupa? Ini kan rumah kita! Ayo masuk!" Dia langsung menarik tanganku dengan kasar. Aku ketakutan melihat tingkahnya yang beringas, apalagi dia menyebutku dengan nama lain.

"Santi, inilah rumah kitadan anak-anak kita. Lihatlah, aku merawat rumah ini dengan baik, bukan?"

Banyak sekali ocehan Mario, tapi aku tidak mendengar lagi. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya melarikan diri. Tiba-tiba Mario menyodorkan gaun pengantin yang sangat cantik.

"San, bagaimana gaun pengantin ini? Aku membelikan untukmu. Ayo, cobalah dulu!"

"Dia menarik tanganku dan memaksaku mencoba gaun itu. Tapi aku menolak. Perlahan-lahan aku dapat menepis ketakutan yang menguasai diriku dengan terus berdoa. Mario marah sekali sampai wajahnya merah padam. Tiba-tiba aku sadar, yang di depanku bukanlah Mario temanku, tapi seseorang yang mirip dengannya. Mendadak akupun ingat kalau nama Mamaku adalah Santi. Apakah dia Papanya Mario yang merasuki tubuh anaknya?

Perlahan-lahan wajah Mario berubah sangat menyeramkan. Tiba-tiba aku melihat Shintya berdiri di pint. Aku ingin menyuruhnya pergi, tapi suaraku tidak dapat keluar lagi. Tidak lama di belakangnya muncul seseorang yang tidak kukenal. Saat Mario tahu siapa yang datang, ia bertambah marah, wajahnya makin menyeramkan. Tiba-tiba aku merasakan ada hawa panas dan hawa dingin di sekelilingku.

Ada satu hentakan yang membuat Mario terlempar dan sebuah bayangan seperti roh keluar dari tubuh orang itu. Tubuhnya jatuh di lantai dan tidak bergerak-gerak lagi. Hawa panas dan dingin perlahan-lahan hilang. Aku pun jatuh lemas di lantai dan tidak ingat apa-apa lagi.

Saat aku sadar, ternyata diriku berada di kamarku sendiri. Samar-samar aku mendengar suara orang bicara di ruang tamu. Dengan perlahan-lahan aku berjalan ke sana.

"Chin, kenapa kamu keluar?" tegur Mama sambil memapahku duduk di kursi tamu. Aku melihat ada Mamanya Mario.

"Chintya, Tante ingin mengucapkan terima kasih."

"Untuk apa Tante?" tanyaku heran. Aku mash belum ingat apa yang telah terjadi padaku.

"Kamu telah menolong Mario."

"Ma, Chintya masih bingung, Sebenarnya apa yang telah terjadi?"

"Chin, kamu ingat saat Mario mengajakmu ke sebuah rumah?"

"Oh, iya iya, aku ingat sekarang, Ma."

"Nanti Mama jelaskan semuanya. Chin, Mama sekarang memperbolehkan kamu berteman lagi dengan Mario."

"Sungguh, Ma?! Terima kasih, Ma," aku langsung mencium Mamaku.

Aku sangat senang, karena aku sudah dapat berteman lagi dengan Mario. Sejak kejadian pada hari itu sikap Mario pun kembali seperti semula. Dan sejak kejadian ituPapanya tiba-tiba menghilang, tidak ada kabar beritanya.

Prestasinya di sekolah pun mulai meningkat lagi. Dan aku bertambah bahagia lagi saat Mario menyatakan perasaannya padaku, karena sudah sejak awal aku memang menyukainya, bahkan suka itu perlahan-lahan berubah menjadi cinta. (end)

Minggu, 26 Mei 2013

Lima Hal dari Wanita yang Menakutkan Pria

Pria bagaikan kuda liar. Mereka mudah ketakutan. Ada banyak hal yang wanita lakukan yang dapat membuat pria panik dan membutuhkan pertolongan. Katy Taylot, pakar hubungan Match.com mengungkapkan lima hal yang bisa menakuti kekasih Anda:

1. Uji coba
Wanita sering bilang, pria takut terhadap komitmen. Faktanya, mereka tidak takut komitmen kok. Yang mereka takutkan adalah komitmen yang terlalu cepat. Yang dapat Anda lakukan adalah menetapkan batas waktu Anda sendiri lalu meninggalkannya secara diam-diam jika memang sudah waktunya.

Saat Anda bertemu dengan pria baru, jangan pernah membuat kesalahan dengan membuatnya merasa seakan-akan Anda telah memiliki pacar untuk menghibur Anda lalu kemudian dia dapat langsung menjadi kekasih Anda. Jangan mulai memanggil, “Halo” dan “Selamat malam” setiap hari, atau langsung mengundangnya dalam semua rencana Anda. Hal tersebut tidak akan dapat menggodanya. Pria ingin merasa telah mendapatkan Anda dengan usaha kerasnya.

2. Ketidakpastian
Tiga bulan pertama sebuah hubungan adalah masa yang mudah dan menyenangkan serta membahagiakan. Ini bukan waktunya Anda mengeluhkan hal remeh-temeh kepada dia serta selalu menangis. Kita semua berada dalam ketidakpastian, namun kekasih Anda bukanlah tempat mencari kenyamanan serta jaminan dalam tahap awal hubungan.

Untuk memahami ini, Anda harus menyadari bahwa pria dan wanita memiliki ikatan yang berbeda. Pria hanya mengungkapkan permasalahan mereka satu sama lain saat mereka mencari solusi, sedangkan wanita melakukannya sebagai cara untuk mengakrabkan suasana. Jika Anda mengungkapkan semua rahasia yang Anda tidak sukai mengenai diri Anda terhadap pria baru tersebut, maka dia akan akan berasumsi bahwa Anda ingin agar dia memperbaiki segalanya.

Dia akan mulai merasa, “Wow, gadis ini punya banyak betul masalah. Saya tidak dapat bertahan dengan semua ini. Saya juga memiliki masalah saya sendiri.”

3. Menjadi terlalu baik
“Apa pun yang kamu suka!”

“Saya tidak keberatan menyaksikan film apa saja!”

“Saya akan memiliki apa yang kamu punya!”

Saat seorang wanita benar-benar menyukai seorang pria, dia terkadang berhenti mengungkapkan pendapatnya dan mulai berbaur ke dalam kehidupan pria tersebut sebisa mungkin agar mendapat perhatian (hal tersebut sering terjadi setelah bercinta).

Jadilah wanita yang apa adanya, wanita pemikir yang mandiri yang membuat sang pria benar-benar jatuh cinta. Jangan mengganti program drama TV dengan program olahraga kesukaan sang pria, mengenakan baju yang disukai pria dan melupakan semua hobi Anda. Itu sangat tidak menarik.

Tetaplah pada pendirian Anda. Jika dia mengejek karena menyaksikan “Come Dine With Reality Tattooed Brides” setiap pekan, abaikan dan saksikan saja program tersebut. Karena sebenarnya dia juga ingin berkencan dengan orang yang seimbang dengannya.

4. Coba buat dia cemburu
Ada kalanya, Anda merasa bahwa kekasih Anda tidak lagi tertarik. Anda mungkin merasa tergoda untuk membuatnya agak sedikit cemburu. Haruskan Anda melakukannya? Berhati-hatilah.

Kenyataannya adalah, jika seorang pria menyukai Anda, dia akan secara otomatis merasa bahwa Anda selalu dikejar-dikejar oleh pria lainnya. Dia merasa bahwa Anda sangat cantik sehingga saat Anda naik bus, banyak “serigala kelaparan” yang ingin memangsa Anda.

Jadi jika Anda membuat dia cemburu terlalu sering, dia akan berpikir, “Apa sih maunya dia sebenarnya?” Lebih baik bersenang-senanglah dengan sahabat wanita Anda. Teruslah berlatih di pusat kebugaran. Berliburlah sesekali tanpa pasangan Anda. Ambilah kesempatan untuk bertemu orang baru. Tempatkanlah diri Anda yang membuat dirinya khawatir bahwa Anda akan bertemu dengan seseorang yang lebih baik darinya, dan akan menjaga kelakuannya sebaik mungkin saat berada di dekat Anda.

5. Reaksi berlebihan
Para pria tentu saja menyukai wanita yang kuat dan bersemangat. Namun menurut pria, seorang wanita yang kuat bukanlah wanita yang berteriak kepadanya setiap kali matanya melirik wanita lain, marah-marah ketika pria pulang malam atau menceramahi sang pria karena telah mengecewakan.

Tanda kekuatan yang sebenarnya adalah sikap tenang, jangan biarkan dia tahu bahwa Anda menyukainya. Dia akan jauh lebih khawatir kehilangan Anda jika Anda dengan tenang dan dengan singkat mengungkapkan kepadanya hal yang salah dan mengatakan bahwa Anda akan kembali kepadanya lagi saat dia telah menyelesaikan masalahnya (lalu meninggalkan dia sendiri).

Ini jauh lebih baik dibandingkan bila Anda berteriak dan mengancam serta menangis namun masih tetap berada di sisinya. Jika Anda tetap bereaksi secara emosional, dia akan memandang Anda sebagai orang yang tidak dapat diatur dan lemah serta membuatnya dapat mengancam diri Anda.

Tetaplah fokus pada tujuan-tujuan di dalam hidup Anda selain kekasih Anda. Bekerja, berolahraga dan temuilah sahabat Anda. Lakukanlah hal tersebut bahkan saat Anda ingin bersama dengannya setiap saat, khususnya saat Anda ingin berada dengannya sepanjang hari. Berikan dia ruang dan kebebasan secara alami dengan menjadikan diri Anda bahagia menjadi diri sendiri entah saat dia sedang berada di dekat Anda atau tidak.

Sumber: Yahoo She

Kamis, 09 Mei 2013

Ambar dari Gang Mawar

Cerpen: Akhtiar Jannati Arini

Seperti perempuan lainnya, ketika jodohnya telah tiba, perempuan bernama Ambar yang tinggal di Gang Mawar itu menikahlah. Segera tersiar kabar: Ambar dan Umar menikah di Gang Mawar. Setahun kemudian tersiar kabar di Gang Mawar: Ambar mengandung.

Kepada Umar, Ambar berkata. "Kalau kendunganku membesar, bos supermarket tempatku bekerja pasti memecatku, sebab itulah peraturan di sana."

"Tapi apa. Aku bisa kerja lembur terus. Aku bisa ambil upahan apa saja pada hari Minggu. Malam aku bisa ngojek."

"Tapi, aku ingin, hari Minggu Kakak ada di rumah bersamaku dan bersama anak kita," kata Ambar seolah-olah anaknya sudah lahir. "Kakak juga jangan ngojek malam hari. Pikirkan kesehatan Kakak."

"Kalau aku tidak lembur dan tidak ngojek sampai malam, dari mana kita bisa menabung sedikit demi sedikit untuk biaya sekolah anak kita?" Ambar terdim. Umar membelainya dengan belaian yang meneduhkan.

Malam berikutnya, Ambar bertanya kepada Umar. "Kak, kue buatanku enak tidak?"

"Sangat! Mengapaa? Aku lupa memuji, ya? Maaf ya..."

"Nah, kalau enak, mengapa kita tidak jualan kue saja? Aku titipkan di warung-warung dan di pasar, Kakak bawa ke tempat Kakak kerja, Kakak tawarkan kalau-kalau ada orang hajatan yang mau pesan kue buatanku.."

Umar membelai kepala Ambar. "Istriku, istri nomor satu di dunia." Ambar merasa melambung ke langit lapisan tertinggi oleh pujian Umar.

Umar mencari pinjaman dari sana-sini untuk modal awal usaha. Lamban laun, mulai banyak orang yang memesan kue buatan Ambar. Umar tambah bersemangat mempromosikan kue buatan Ambar. "Tapi janji, ya... Ambar, kamu harus janji, mengasuh anak lebih penting daripada menjual kue sebanyak-banyaknya!"

"Oke, Bos! Siap laksanakan!"

Ketika anak Ambar lahir, Ambar memenuhi janjinya. Umar bersyukur sekali, anaknya terurus dengan baik. Tentu saja ia sangat bersyukur mengingat banyak anak orang lain yang tidak diasuh dengan baik oleh ibunya sendiri gara-gara sang ibu sibuk oleh pekerjaan atau usaha lain.

Tak lama kemudian, perempuan bernama Ambar itu mengandung lagi lalu melahirkan lagi, mengandung lalu melahirkan lagi, mengandung lalu melahirkan lagi. Dua anak perempuan dan dua anak laki-laki diamanahkan Allah baginya dan bagi suaminya. Umar menamai mereka: Jamilah, Hasan, Robiah, dan Sofyan.

Adapun lelaki bernama Umar itu, tiada henti-hentinya bersyuukur. Semua anaknya disusui sendiri oleh Ambar dengan tuntas. Ambar sendiri yang mengantar dan menjemput anak-anak mungil itu sekolah dan mengaji. Ambar bersusah payah mejalankan usaha kuenya, tetapi tetap memegang teguh janjinya: mengasuh anak-anak lebih penting daripada menjual kue sebanyak-banyaknnya.

Kalau Umar tidak bekerja sebagai buruh bangunan, ia memilih membantu Ambar membuat kue dan menjualnya daripada ngojek agar ia bisa lebih banyak bersama Ambar dan anak-anaknya.

Lama kelamaan, berkat promosi yang gencar dilakukan Umar, pesanan bertambah banyak, Ambar mulai merasa kesulitan menjalankan usaha itu sendiri. "Bagaimana kalau kita buat gerobak kue. Kita jualan di pinggir jalan . Mudah-mudahan laris dan lama-lama kita bisa sewa kios kecil di pinggir jalan...."

Umar terdiam. Ia berpikir. "Nanti dulu. Anak-anak kita masih kecil-kecil. Kalau kamu sibuk jualan di pinggir jalan, anak-anak kita bagaimana? Justru ketika mereka masih kecil-kecil, mereka butuh perhatian penuh dan didikan yang baik dari kamu sebagai ibunya. Mengapa tidak seperti selama ini saja. Kita buat kue di rumah. Orang-orang pesan, mengambi sendiri di rumah kita atau kita upah orang lain untuk mengantarnya?"
"Begini, Kak.... Maksudku, bagaimana kalau Kakak yang jualan di pinggir jalan.... Aku tetap di rumah, buat kue dan mengasuh anak-anak.... Yakinlah, Kak.... Anak-anak kita tetap terurus dengan baik semampuku."

Umar terdiam lebih lama. Berpikir lembih lama. "Godaan" untuk dapat uang lebih banyak menari-nari dalam angannya. Namun, bersamaan dengan itu, ia merasa harga dirinya sebagai lelaki dan sebagai kepala rumah tangga mulai terusik.

"Begini.... Sejak awal, ini usaha kamu,'kan? Aku senang. Aku dukung. Tapi, ingat, niat awal kamu, dan yang aku bayangkan selama ini, kamu melakukan itu untuk membantu suami menambah penghasilan keluarga. Bukan untuk mengambil alih tanggung jawabku mencari nafkah. Kalau kamu suruh aku yang jualan di pinggir jalan, berarti kamu suruh aku berhenti jadi buruh bangunan! Artinya apa? Artinya, sejak saat itu aku tidak lagi cari nafkah sendiri untuk kamu dan anak-aank! Artinya apa? Artinya, aku tergantung padamu paadahal aku suamimu!"

"Kata siapa, Kak? Ini usaha kita bersama. Kakak yang cari modal awalnya, 'kan? Kakak yang promosikan, Kakak bantu aku antar kue ke pembeli yang memesan. Kakak juga bantu aku buat kue kalau Kakak sedang tidak kerja."

Umar diam seribu bahasa. Ambar akhirnya berkata. "Sekali lagi aku mohon maaf, Kak! Tolong lupakan saja permintaanku tadi."

"Ya, sudahlah! Aku maafkan.... Aku mau pergi dulu, takziah ke rumah kenalan di kampung sebelah." Ambar mengantar Umar sampai ke pintu dengan air mata berurai. Ia menyesal telah membuat hati suaminya terluka.

Baru beberapa langkah Umar berlalu, Ustadzah Arni mengetuk pintu. Ia hendak memesan kue untuk konsumsi jemaah yang akan menghadiri peringatan Tahun Baru Hijriyah. Ambar buru-buru menghapus air matanya, tetapi bekas menagis masih terlihat oleh Ustadzah Arni.

Karena Ustadzah Arni terkenal dapat dipercaya menjaga rahasia dan sering dapat memberikan solusi atas masalah rumah tangga, Ambar curhat padanya. Lagi pula, Ustadzah Arni adalah bibinya sendiri. "Aturlah agar kita bertiga dengan suamimu dapat bicara dari hati ke hati. Insya Allah ada jalan keluarnya."

Dalam pertemuan itu, Ustadzah Arni berkata, "Kau lelaki yang baik, Umar. Kau tidak mau makan keringat istrimu. Aku kagum padamu. Sebelumnya maafkan aku kalau aku kau anggap mencampuri urusan rumah tanggamu. Tapi, aku ini bibi kalian. Aku ingin yang terbaik untuk kalian. Keputusanmu Umar, kuakui, sangat baik dan sangat tepat, Begitulah seharusnya lelaki. Ambar sangat beruntung,menjadi istrimu. Tapi, maukah kalian kutawarkan sesuatu yang lebih baik lagi?"

Muqoddimah yang disampaikan Ustadzah Arni mampu mencairkan egoisme Umar sebagai lelaki. Ia mengangguk.

"Usaha kue kalian harus dipertahankan dan harus dikembangkan. Melihat perkembangannya selama ini, usaha kue kecil-kecilan ini dapat bertahan lama bahkan dapat lebh maju asal kalian lebih serius dalam penjualan. Memancing minat beli dengan memajang kue di gerobak di pinggir jalan ada baiknya dilakukan selain menunggu pesanan datang ke rumah kalian."

"Maaf, Bibi sudah tahu penirianku...," Umar menyela.

"Karena itu, kutawarkan padamu begini. Kau beli usaha kue itu dari Ambar. Suruh Ambar hitung berapa nilai usahanya sekarang. Belilah usaha itu supaya jadi milikmu. Terserah kalian mau kontan atau dicicil. Sesuadah itu, suruh Ambar bekerja padamu sebagai pembuat kue. Kau gaji dia sebagai pembuat kue. Maka, seluruh keuntungan akan merupakan hasil usahamu sebagai suami. Maka, kau tak perlu lagi merasa tergantung pada istrimu sebab nyatanya kaulah yang mengelola dan menentukan, kau bos-nya...."

Wajah Umar cerah. Itu gagasan yang "aneh" tapi cemerlang. Pantas saja banyak orang yang meminta bantuan kepada bibinya itu untuk menyelesaikan masalah tertentu. Namun, wajah cerah Umar segera meredup. "Aku tak punya uang...."

"Kau boleh pinjam uangku. Aku sudah minta izin suamiku untuk meminjamkan uang kepadamu. Tapi harus ada surat perjanjian bahwa utangmu akan kau lunasi.... Kita buat perjanji itu di rumahku. undanglah Ketua Masjid sebagai saksi di pihakku, dan Ketua Seksi Peribadatan Masjid sabagai saksi di pihakmu. Jangan lupa undang Ketua RT untuk mengetahui perjanjian itu!"

Ambar tersenyum dalam hatinya. Gagasan agar Umar membeli usaha kuenya itu murni gagasan Ustadzah Arni, sedangkan gagasan mengundang Ketua Masjid dan Ketua Seksi Peribadatan Masjid sebagai saksi serta Ketua RT sebagai pejabat yang mengetahui perjanjian itu adalah gagasan Ambar. Tujuannya agar tanpa harus cerita dan menjelaskan dengan siapa-siapa, berita akan tersebar dengan cepat dari mulut ketiga orang itu bahwa: usaha kue itu telah "sah" berpindah tangan menjadi milik umar karena ia telah membelinya meskipun membeli dengan istrinya sendiri, bahwa bukan Ambar yang "berkuasa" atas usaha itu, melainkan Umar.

Begitulah sebagian kisah dari perempuan bernama Ambar, yang tinggal dan menikah di Gang Mawar, hidup bahagia bersama suami dan anak-anaknya di Gang Mawar.

Dari mana aku tahu kisah itu?Aku tahu kisah itu sejak lama sebab aku juga tinggal di Gang Mawar. Untuk apa kukisahkan kepadamu? Untuk membanggakan perempuan bernama Ambar itu: perempuan yang menguras tenaga dan pikirannya untuk membantu menambah penghasilan keluarga, tetapi tetap mengasuh dan mendidik anak-anaknya: perempuan yang ikhlas melakukan yang terbaik agar dapat mengumpulkan rezeki untuk biaya pendidikan anak-anaknya tanpa membuat suaminya merasa kehilangan harga diri.

Mengapa kubanggakan ia, perempuan bernama Ambar itu? Sebab sejak berada dalam rahimnya, aku telah merasakan kasih sayangnya yang total! Sebab sejak keluar dari rahimnya, aku merasakan usahanya yang gigih agar aku dapat mengenal Allah dan selalu merasa dalam pengawasan Allah!.

Kenalkan namaku Jamilah bin Umar: Adik-adikku ada tiga: Hasan bin Umar, Robiah bn Umar, dan Sofyan bin Umar. Ya! Ibuku Ambar, bapaku Umar, kami tinggal di Gang Mawar. (*)

Citra Budaya

Sematera Ekspres, Minggu, 31 Maret 2013

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Iwan Lemabang

LEMABANG 2008

Rabu, 06 Maret 2013

Ibuku Diserang 200 Jin

Oleh: Anggita Alfiani

Aku terkejut ketika dilakukan OSG ternyata tidak ada janin dalam perut ibu. Padahal jelas-jelas ibu hamil dan sebentar lagi akan melahirkan. Rupanya rahim ibu dimasuki jin jahat yang dikirim ke rumahku oleh seseorang yang dendam pada ayahku

* * * * * * * * * * * * * * *

Entah pantas atau tidak aku menceritakan kisah ini. Bisa dibilang ini adalah aib keluargaku. Bila pada akhirnya aku tulis kisah ini, hanya sebatas untuk sharing. Barangkali cerita ini dapat bermanfaat. Hmm.... peristiwa ini terjadi kurang lebih 10 tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu biuku sedang mengandung adikku yang pertama. Usianya sudah menginjak delapan bulan. Tapi kami belum tahu apa jenis kelamin bayi itu. Ayah dan ibu sengaja tidak memeriksakannya.

"Biar saja, biar jadi kejutan," ujar ayah. Namun belakangan ini ibu, kesehatan ibu berangsur menurun, ibu jadi lebih mudah sakit. Ayah mengira mungkin karena usia kandungan ibu semakin bertambah, jadi ibu lebih muddah capek atau sakit. Kami sekeluarga pun mengira seperti itu dan tidak berpikiran aneh-aneh.

Sudah seminggu sakit ibu tidak kunjung membaik. Padahal ayah sudah membawa ibu ke puskesmas tiga hari yang lalu. Namun, obat sepertinya sama sekali tidak bekerja. Kondisi ibu sudah sangat menurun. Wajahnya pucat, badannya terlihat lebih kurus dari biasanya. Dan ibu pun menjadi sering melamun.

Akhirnya ayah memutuskan membawa ibu ke rumah sakit ibu dan anak sekaligus ingin memeriksakan kesehatan kandungan ibu. Aku pun ikut serta ke rumah sakit karena kebetulan hari itu hari Sabtu dan sekolahku tengah libur.

Saat tiba di rumah sakit, untungnya antrian masih sepi, karena mungkin masih pagi. Setelah registrasi tak lama ibu pun dipanggil ke ruang periksa. Aku diizinkan untuk masuk. Lalu ibu dibaringkan dan diperiksa oleh dokter.

"Tidak ada masalah serius yang mengganggu kesehatan istri Bapak. Mungkin hanya kecapekan. Garis besarnya, istri Bapak sehat. Tapi saya akan memberi beberapa vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh si ibu dan bayi," ucap dokter.

Ayah dan aku cukup heran, kenapa ibu bisa dikatakan sehat padahal kondisi fisik ibu sudah memprihatikan.

"Baik dok. Oh iya, bisakah dokter memeriksa kandungan istri saya juga? Saya jadi penasaran dengan jenis kelaminnya. Selama ini kami tidak USG karena agar menjadi kejutan. Tapi sekarang saya tidak bisa menahn ras penasaran saya lagi," tutur ayahku.

"Baik Pak, saya akan memeriksa kandungan istri Bapak." Lalu dokter mengoleskan krim jel berwarna bening ke perut ibu, dan mengambil alat seperti ulekan, dan menggerakkan dengan mengitari perut ibu. Dari alat pengeras suara, terdengar pergerakan di dalam perut ibu. Aku takjub mendengarnya. Ternyata seperti itu bayi yang berada dalam kandungan. Lalu dokter menghubungkan ke sebuah monitor, yang menangkap gambar di dalam perut ibu. Namun saat monitor itu di nyalakan, dokter terkejut. "Astaga.... Pak, kenapa bisa begini? Bapak lihat di layarkan? Tidak ada gambar janin di dalam perut istri Bapak. Seharusnya alat ini menangkap janin itu," ujar dokter setengah panik.

Ayahku terkejut bukan main. Aku melihat di layar hanya gambar hitam putih, tidak ada gambar yang bisa disebut janin. Aku heran.

"Masya Allah, kenapa bisa begini? Lalu apa yang ada di dalam saya dok?!" tanya ibu mulai panik.

"Tenang Bu, kalau menurut saya, di dalam perut ibu terdapat janin. Tadi kita sudah mendengar pergerakannya kan? Dan jika saya memeriksa secara manual juga saya bisa merasakan pergerakan janin itu. Tapi mengapa tidak muncul di monitor itu yang saya bingungkan. Seperti ada yang menghalangi."

Aku tidak mengerti. Tapi ayah dan ibuku terlihat sangat cemas, ibu malah menagis terisak.

"Jujur saya tidak pernah mengalami kasus seperti ini Pak. Tapi saya pernah mendengar kasus sprti ini sebelumnya. Hmmm... saran saya lebih baik Bapak membawa istri Bapak kepada ustadz atau orang pintar. Kalau sudah seperti ini, ini diluar tenaga medis," ujar dokter itu.

"Apa maksud dokter saya terkena guna-guna?" tanya ibu sambil terisak.

"Lebih baik Ibu periksakan kepada yang mengerti. Mohon maaf Bu. Namun saya akan tetap memberi obat sebagai vitamin dan daya tahan ibu dan bayinya. Ibu dan Bapak mesti ingat, biar bagaimanapun janin itu masih ada. Jadi saya harap kalian tidak gegabah saat memeriksakan ini kepada orang pintar," pesan dokter.

"Baik dok, terima kasih," jawab Ayah. Lalu kami pulang dengan rasa gelisah. Aku bertanya kepada ayah, "Ayah, apa sih maksud dokter tadi?" Kenapa di perut ibu bisa tidak ada bayinya? ibu kenapa sih, Yah?" tanyaku penuh rasa heran.

"Ayah juga tidak mengerti. Kalau tahu akan seperti ini, pasti dari dulu sudah Ayah periksakan kandungan ibu. Naufal banyak berdoa saja ya Nak, supaya ibu dan adik kamu dilindungi Allah dan selamat sampai lahir ke dunia," sahut Ayah. Selama di jalan, ibu masih sesekali terlihat meneteskan airmata. Aku sangat kasian melihat ibuku. Lalu aku menggandeng tangan ibu. "Ibu sabar ya," ujarku.

"Iya nak. Doakan ibu dan adikmu ya," jawab Ibu dengan lembut.

Selepas shalat Maghrib, biasanya aku langsung nonton TV dan makan. Tapi aku ingat ibuku yang sedang terbaring di kamar, aku batalkan niatku untuk nonton TV dan makan. Aku terus mendoakan ibuku dan berdzikir sebisaku, yang telah diajarkan guru ngajiku. Di depanku, ayah sebagai imam membimbingku. Lalu ayah mengajakku membaca Surat Yasin, untuk mendoakan ibuku. Aku masih belum sempurna membaca Surat Yasin sehingga hanya mengikuti ayah pelan-pelan.

"Ketika kami tengah membaca Surat Yasin, tiba-tiba kami mendengar ibu menjerit dari dalam kamar. Sontak ayah terkejut da langsung lari ke kamar, begitupun aku. SSsampainya di kamar, aku melihat ibu masih menjerit-jerit.

"Astaghfirullah, ibu kenapa? Apa yang ibu rasakan? Istighfar Bu," ujar Ayah. Dia kemudian mengambil buku Yasin dan membacakannya di samping ibu yang masih saja menjerit-jerit. Sementara aku hanya bisa melihat kejadian itu tanpa tahu harus berbuat apa.

Lalu saat ayah membaca, ibu mulai menangis. Tangis terdengar sangat sendu. Aku tidak kuat melihat pemandangan itu. Akupun ikut menangis di samping ayah. Tangis ibu mulai reda setelah ayah selesai membacakan Surat Yasin itu.

"Ayah, Ibu kenapa? Kok Ayah ngajiin Ibu? Kenapa Ibu menangis, Yah?" tanya Ibuku heran.

Aku dan ayah terkejut. Berarti tdi Ibu tidak sadar kalau dia menjarit-jerit dan menangis. "Ibu tadi menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Ibu juga menangis. Apa Ibu tidak sadar?" tanya ayah.

Di tanya seperti itu, Ibu justru kembali menangis. "Ayah, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Ibu? Kenapa semua ini tidak bisa ibu terima dengan logika? Kenapa Yah?" tanya Ibu.

Aku mengambilkan minum buat ibu lalu kembali duduk di tempat semula.

"Ayah juga tidak tahu Bu. Besok, Ayah akan panggil ustadz Rahmat. Mungkin saja dia bisa membantu kita. Sekarang Ibu istirahat saja ya? Ayah akan menemani Ibu di sini," ujar Ayahku. Dan malam itu aku tidur bersama ayah dan ibu.

Keesokan harinya aku pergi ke sekolah seperti biasa. Hari itu ayah tidak kerja, karena akan memeriksakan ibu pada ustadz Rahmat. Saat aku pulang sekolah, di rumah sudah ada ustadz Rahmat. Aku menyalami ayah dan ustadz, lalu segera menuju kamar ibu.

Saat menuju kamar, sayup-sayup aku mendengar perkataan ustadz Rahmat. "Coba Bapak ingat-ingat lagi, apa Bapak punya musuh? Nanti akan kita ketahui siapa kira-kira yang telah melakukan ini?"

Aku tidak mengerti apa yang ustadz Rahmat katakan. Aku langsung menemui ibu. "Bagaimana keadaan ibu? tanyaku.

"Badan Ibu rasanya lemas Nak. Kamu sudah pulang sekolah ya?" kata Ibu balik bertanya.

"Sudah, Bu. Ibu sudah makan? Naufal ambilkan makan untuk Ibu ya?" tawarku. Ibu kemudian mengangguk.

Saat aku kembali ke kamar, ibu sedang diperiksa ustadz Rahmat. Aku lihat perut ibu dipegang ustadz Rahmat. "Apa yang Ibu rasakan?" tanya Ustadz. Ibu diam sejenak.

"Panas, Pak. Padahal sebelum Pak Ustadz pegang, rasanya biasa saja. Tapi sekarang perut saya terasa panas. Seperti ada energi yang dialirkan," jelas Ibu.

Lalu Pak Ustadz memberi air sambil berkata, "Minumlah air ini pada pagi hari dan sisanya usapkan ke perut Ibu sambil membaca shalawat."

Tak terasa petang pun tiba dan ustadz Rahmat berpamitan. Saat aku sedang duduk di teras rumah, aku melihat burung gagak bertengger di pagar rumah. Baru kali ini aku melihat burung gagak di rumahku. Tapi aku tidak terlalu menghiraukan. Aku bergegas mandi. Selepas shalat Maghrib, aku pergi mengaji. Saat aku pamitan dengan ayah dan ibu tidak ada pertanda aneh.

Namun saat aku kembali, rumahku ramai. Banyak tetangga di rumahku. Aku semakin panik ketika mendengar suara gaduh dari dalam rumahku. Aku segera berlari ke dalam rumah. Di situ, ibuku sedang menjerit dan menangis. Mata ibu melotot merah. Ibu pun meracau tidak jelas.

Tetapi ada yang aneh. Suara itu, seperti bukan suara ibu. Suaranya sangat ngebas atau berat sekali. Entahlah aku panik sekali saat itu. Aku bertanya pada ayah, tapi ayah menyuruhku memanggil ustadz Rahmat. Segera aku berlari menemui ustadz dan menceritakan apa yang sedang terjadi di rumah.

Saat sampai di rumah, ustadz menyuruhku untuk mengambil air di dalam baskom. Setelah itu ustadz segera menangai ibuku. Ustadz lalu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an kepada ibu. Ibu semakin histeris. Lalu tiba-tiba ibu pingsan. Tapi ibu bisa diajak bicara oleh ustadz.

Tolong ceritakan apa yang terjadi pada saudara saya ini," ujar Ustadz.

Ibu menjawab dengan suara yang parau,"Ono wong sing ngirimi rong atus demit neng omah iki. Ono demit neng weteng ibu iki" ("Ada orang yang mengirim dua ratus jin ke rumah ini. Ada jin dalam perut ibu ini").

Setelah mengucapkan hal itu, ibuku kmbali terdiam. Beberapa saat kemudian ibu sadar. Ketika merintih, aku yakin benar-benar suara ibuku, bukan suara jin atau demit tadi. Aku terheran-heran dengan apa yang aku lihat.

Peristiwa itu sungguh belum aku mengerti seluruhnya sehingga aku hanya bisa mematung di belakang ayahku. Saat rumahku kembali normal dan para tetangga sudah pulang, ayahku ngoborl dengan ustadz Rahmat. Aku yang sedang menunggu ibu di kamar tidak sengaja mendengar percakapan mereka.

"Sebenarnya ada apa Ustadz? Apa yang terjadi? Dan apa yang ustadz lakukan tadi?" tanya Ayah.

"Istri Bapak kerasukan jin jahat. Tadi saya memasukkan jin baik ke dalam tubuh istri Bapak untuk berkomunikasi dengannya. Jin itu mengatakan bahwa ada seseorang yang mengirimi 200 jin ke rumah ini dan ada jin yang masuk ke dalam perut istri Bapak. Mungkin itu sebabnya saat di USG janinnya tidak terlihat. Tolong Bapak ingat-ingat lagi, barangkali ada orang yang tidak suka dengan Bapak," ujar Ustadz.

"Sebenarnya ada sebuah rahasia yang istri saya tidak ketahui. Saat saya menikahi dia, sebenarnya saya sudah punya istri. Saya kabur dari rumah sehingga istri pertama saya itu sangat marah. Tetapi saya tetap meninggalkannya karena saya memang tidak mencintai dia. Saya menikahiya dengan terpaksa. Saya tidak tahu, apa mungkin dia penyebab ini semua?" tutur Ayahku.

Karuan saja aku terkejut mendengar pengakuan ayah. Aku pun nguping dengan seksama pembicaraan antara ustadz dan ayah.

Saran saya, sebaiknya Bapak menemui istri pertama Bapak dan memintalah maaf kepadanya. Niatkan dengan baik. Insya Allah, Allah akan mempermudah langkah Bapak. Sekarang saya pamit dulu. Assalamu'alaikum...." ucap ustadz Rahmat.

Entah bagaimana ayah menceritakan semuanya kepada ibu. Yang aku tahu, keesokan harinya ayah mengajak kami untuk menemui istri pertamanya. Kalau aku tidak salah hitung, hari itu adalah hari ke 40 sejak ibu mulai sakit. Dan seharusnya sebentar lagi ibu melahirkan. Namun sampai saatnya belum juga muncul tanda-tanda ibu akan melahirkan.

Setibanya di rumah istri pertama ayahku, jantugku berdebar lebih kencang. Aku takut hal yang tidak kami inginkan terjadi. Aku takut dia melukai ibuku. Aku berdoa dalam hati agar semua baik-baik saja. Ayahku mulai mengtuk pintu. Tidak ada yang menjawab salam.

"Ayah yakinn diabelum pindah?" tanya ibu.

"Ini rumah warisan orangtuanya, jadi kemungkinan kecil kalau dia pindah kalau dia pindah. Kecuali dia menjual rumah ini," sahut Ayah sambil mengetuk pintu lagi sambil mengucapkan salam.

Tidak lama aku mendengar suara orang melangkah dari dalam yang sepertinya akan membukakan pintu. Langkahnya sangat pelan. Langkahnya seperti diseret. "Wa'alaikumsalam...." jawab seseorang dari dalam rumah.

Dan saat pintu terbuka, aku dapat melihat ekspresi yang sangat terkejut di wajah wanita itu. Kalau dari fisik, wanita itumungkin berumur sekitara 40-an. Wajahnya belum terlalu tua tapi kalau aku perhatikan, masih kalah cantik dibanding ibuku.

"Rina, boleh kami masuk?" tegur Ayahku karena melihat wanita yang dipanggil Rina itu hanya terbengong di depan pintu.

"Si... silakan, Mas," jawab Rina akhirnya dengan terbata-bata.

"Kamu sehat, Rin? Bagaimana kabar Dimas? tanya Ayah setelah kami masuk dan duduk di ruang tamu. Aku dan ibuku hanya bisa diam. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran ibu. Mungkin dia sangat terpukul setelah mengetahui ini semua.

Namun mungkin juga bisa menerimanya karena toh perkawinan dengan ayah sudah berjalan puluhan tahun dan sudah dikaruniai anak, yakni aku dan sebentar lagi si kecil yang masih dalam kandungan ibu.

"Sehat, Mas.... Dimas baik-baik saja. Dia sudah kkelas 2 SMP." jawab wanita itu seadanya. Terlihat sekali bahwa dia sangat canggung. Di satu sisi, aku memendam emosi. Bagaimanna tidak, wanita yang berada di hadapan kami diduga berada dibalik sakitnya ibu selama ini.

"Alhamdulillah... O.. iya, Rin, jujur saja, aku ke sini ingin meminta maaf kepadamu karena telah meninggalkanmu. Dengan tulus aku memohon maaf. Ini istri dan anakku. Aku harap kamu bisa ikhlas menerima semua keadaan ini. Kamu pasti akan menemui pria lain yang jauh lebih baik daripada aku. Aku yakin itu. Dan kita akan bisa menjadi sahabat, keluargamu dan keluargaku. Apa kamu tidak mau menjalin hubungan baik denganku? Ayolah Rin... bagaimanapun kita pernah bersama dan tidak baik jika memutuskan tali silaturahmi. Orangtua kita sudah menjalin hubungan sangat lama. Apa kita tega merusak semuanya?" ucap Ayah. Aku melihat Ibu menetekan airmata.

"Aku juga minta maaf, Mas, karena selama hampir 10 tahun aku membencimu. bayanganmu tidak hilang dari pikiranku. Baiklah, mulai sekarang kita bangun semua dari awal. Dengan kehidpuan kita masing-masing," ucap wanita itu sambil menangis. Lalu ia menghampiri ibuku. Tanpa kuduga ia memeluk ibuku.

"Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf kepadamu. Aku sadar sekarang. Aku merasa sangat berdosa," ujar Rina. Aku terpaku melihat itu semu. Terlebih permohonan maaf yang dilakukan Tante Rina seperti bukan permintaan maaf biasa.

Seperti ada sesuatu yang ia lakukan dan kini dia merasa sangat menyesal. Aku menjadi semakin yakin, memang Tante Rina yang telah mengirim 200 jin itu ke rumahku. Aku akhirnya bisa menerima semaunya. Lagi pula kulihat ibu kemudian juga merangkul Tante Rina.

"Maafkan aku juga Mbak Rina. Semua yang telah terjadi biarlah berlalu," ujar ibu masih dengan tetap menangis. Sungguh situasi yang sangat mengharukan. Aku melihat dua wanita yang sama-sama mencintai ayahku, berpelukan. Setelah berbincang-bincang sesaat, kami pamit pulang. Aku merasa sangat lega. Semoga setelah ini semua peristiwa menyeramkan itu sirna.

Keesokan harinya, ibu mengeluh perutnya sakit. Kami sempat cemas. Namun setelah diperiksa ternyata ibu mau melahirkan. Segera ayah membawanya ke rumah sakit. Setelah melewati beberapa proses, akhirnya ibu melahirkan. Aku dan ayah sangat bersyukur karena bayi perempuan itu sehat wal'afiat. Alhamdulillah ya Allah.

Dan yang lebih membahagiakan kami, sejak saat itu tidak ada lagi kejadian buruk yang menimpa ibuku. Ayah dan ibuku berhubungan baik dengan Tante Rina. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013

Jumat, 01 Maret 2013

Aji Aji Selingkuh si Budak Iblis

Oleh: Tia Aweni D. Paramitha

Perempuan ini, batinku, kurang ajar betul. Dia sudah merusak rumah tanggaku, merusak hubungan harmonisku dengan suami, dia pula yang merebut cinta Mas Haris, tapi berani-beraninya pula dia berkata kasar dan menghembuskan asap rokok ke mukaku. Rasanya, ingin sekali aku menampar mukanya, atau merusak wajahnya yang cantik itu dengan pisau belati.

* * * * * * * * * *



Hati kecilku bertanya, mau apa sih sebenarnya Si Anita itu? Dia sudah punya suami, tiga anak, punya pekerjaan tetap dengan gaji besar, tapi kok masih mengejar suami orang? Dia gatol betul menguber suamiku, Haris Laksono, ayah dari dua anakku, Heidy dan Arlita, buah cinta kami yang sangat kami sayangi!

"Anita, maaf ya, apa sih sesungguhnya yang kamu cari dari suamiku? Kenapa sih kau terus menerus menggoda Mas Haris, bukankah kau sudah punya suami yang hebat, pejabat lagi dan kedudukanmu sendiri di perusahaan asing bagiku baik!" kataku, saat aku mengundangnya untuk bertemu di restoran Amigos Hill View di Kemang Jakarta Selatan.

Dengan tenang dan santai, sambil mengisap rokok Dunhill hijaunya dia berucap. "Karin, kau jangan resah dan tak perlu cemas dengan keadaan ini. Janganlah kau pikir hanya aku yang menguber suamimu, tapi tanyalah pada suamimu dari hati ke hati, apakah dia tidak menguber aku, apakah suamimu tidak mencintai aku. Tanya pula padanya, apakah dia tidak tidur denganku setiap usai acara makan siang bersama?" desis Anita, sambil tersenyum sinis.

"Jadi kalian sudah tidur?" tanyaku, dengan emosi meninggi dan dada bergemuruh karena dibakar cemburu. "Sekarang kau tak perlu tanya aku, tapi tanyalah pada suamimu, tanya dia, apakah tidak pernah hubungan intim denganku, setiap satu minggu sekali bobo-bobo siang denganku di hotel berbintang lima?" cetus Anita, semakin nyantai, menghisap rokok putihnya yang dalam, lalu seenaknya asapnya dihebuskannya ke mukaku.

Perempuan ini, batinku, kurang ajar betul. Dia sudah merusak rumah tanggaku, merusak hubungan harmonisku dengan suami, dia pula yang merebut cinta Mas Haris, tapi berani-beraninya pula dia berkata kasar dan menghembuskan asap rokok ke mukaku. Rasanya, aku ingin sekali menampar mukanya, atau merusak wajahnya yang cantik itu dengan belati. Tapi aku masih berpikir panjang, aku masih punya rasa malu, aku masih punya rasa risih dan jengah dengan tamu-tamu lain restoran Amigos Hill View di sekitar kami.

"Kau perempuan bejat, jahat dan laknat Anita, semoga Tuhan menghukummu sesuai kesalahan dan dosa-dosamu, kejahatanmu terhadap kemanusiaan, terhadap aku dan anak-anakku. Kau talh menghancurkan rumah tanggaku, menghancurkan biduk kebahagiaan rumah tangga kami, kau hancurkan kebahagiaan kedua anakku, kau manusia brengsek Anita, jahannam kau!" tekanku, sambil menahan suara kerasku.

Lalu aku mengancamnya dengan sengit. "Anita, bila kau masih meneruskan hubungan gilamu itu dengan suamiku, aku akan melaporkan hal ini kepada suamimu yang pejabat kementerian itu dan aku akan mengundang pers, melakukan press conference, akan kubongkar semua kejahatanmu ini dan keluarga besarmu akan malu oleh pemberitaan itu nanti. Lihat Anita, aku akan melakukan hal itu, sekali mandi biarlah basah sekalian, mari kita rusk-rusakan sekalian!" bentakku.

Tetap dengan nyantai Anita menantang balik. "Silakan elo lapor ke suamiku, silakan elo sebarkan masalah ini ke pers, gue malah senang, gue beken gara-gara diekspose oleh pers, koran-koran dan televisi, biar gue bisa ngetop dan jadi selebriti yang diperbincangkan dan menjadi buah bibir banyak orang. Horee, gue akan segera menjadi orang terkenal di negeri ini," balas Anita, sambil cekikikan, suara tertanyanya yang keluar, mirip sekali suara kuntilanak.

Setelah membayar makan siang itu, aku terus menghambur ke mobilku dan malaju menuju rumahku di Rawamangun, Jakarta Timur. Sementara Anita juga keluar restoran dan memacu mobil sedan barunya, yang baru saja dibelikan oleh suaminya itu.

Pada malam harinya, menjelang tidur, pukul 24.00 tengah malam, aku mengajak Mas Haris bicara dari hati ke hati. Namun di luar dugaanku, Mas Haris acuh tak acuh dan menolak, lalu dia mengatakan bahwa dia sedang lelah dan tidak mau bicara malam itu.

"Apa yang akan kau bicarakan, aku sudah tahu semuanya dari Anita. Dia menelpon saya sore tadi!" desis Haris, sambil menguap lalu merebahkan dirinya di tempat tidur.

"Jadi betul Mas berhubungan cinta dengan Anita Sarnita itu?" tanyaku, dengan nada meninggi.

"Betul, aku betul berhubungan cinta dengannya dan aku akan segera menikahinya bila urusan perceraiannya dengan Hamid Syamsudin itu selesai di pengadian agam," aku suamiku, Haris, enteng saja, sambil memeluk guling.

"MMas, kalau memang benar kau mau menikahi dia, Mas ceraikan aku dulu. Aku tidak akan menerima dimadu apalagi bermadu dengan perempuan iblis seperti dia itu," kataku, penuh emosi.

"Bagus, kalau kau minta cerai dariku, aku akan segera mengurus perceraian kita, kita bercerai!" ungkap Haris, santai.

Jantungku berdebar hebat, kepalaku pusing tujuh keliling dan mataku pun berkunang-kunang. Rasanya kakiku tak kuat lagi menopang tubuhku, oleng dan akan terjatuh, tapi aku berusaha tegak dan tetap berdiri baik.

"Baiklah, cepat urus perceraian kita dan aku akan membawa dua anak kita ke kampung, mereka akan aku bawa ke Bantul. Yogyakarta dan bersekolah disana, aku akan tinggal dengan orang tuaku di sana," kataku, sambil tak tahan lagi menahan tangisku yang meledak.

Perceraianku benar-benar diurus oleh Mas Haris. Aku yang menggugat cerai tapi Mas Haris yang menyelesaikan di peradilan agama Pulogadung, Jakarta Timur. Mediasi pernah dicoba, tapi tidak berhasil yang keputusan cerai pun berikut surat cerai kami pun keluar dalam waktu kurang dari sebulan.

Sementara itu, Anita juga bercerai dengan suuaminya lalu dia menikah resmi dengan suamiku setelah habis masa iddah. Anak-anak Anita tinggal bersama suaminya, lalu Anita tinggal sama suamiku di rumah kami di Rawamangun. Anita berhenti kerja dan mantan suamiku, lalu naik pangkat dan menjadi direktur eksekutif di perusahaan Amerika tempatnya bekerja.

Aku memulai hidup baru di kampungku, di Desa Sidodadi, Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku melamar kerja di perusahaan mebel rotan milik Pakde Harjono dan aku diterima sebagai pegawai karena kebetulan pegawai lama ke luar negeri. Pakde Harjono menggaji aku layak dan cukup untuk menopang kehidupan kami, termasuk biaya sekolah dua anakku yang baru masuk ke bangku SD.

Heidy dan Arlita bersekolah di SD Negeri Sewon, Bantul, berjalan kaki dari rumah kami yang berjarak hanya satu kilometer. Dua anakku itu sangat prihatin dan memahami keadaanku, sehingga mereka mau hidup sederhana di desa. Cuma, yang membuat saya sedih, kedua anakku itu secara diam-diam selalu kangen kepada bapak mereka di Jakarta, dan diam-diam keduanya selalu bercerita tentang kebaikan bapaknya. Tapi, agar mereka tidak terus terhanyut, aku gambarkan pada mereka bahwa bapaknya tidak sayang sama mereka, buktinya, dia tidak kangen dan tidak berusaha menemui mereka yang hidup susah di kampung.

Hidup terus menggelinding, kehidupan terus berputar bagaikan roda pedati yang terus berlari. Tidak teras, tanggal 23 November 2011 lalu, aku sudah setahun tinggal di Bantul. Tidak terasa pula, anak-anak sudah setahun berpisah dengan bapaknya. Bahkan, jangankan menemui, menelpon pun, tidak dilakukan Mas Haris untuk anak-anaknya.

Anak-anakku tentu saja bersedih akan kenyataan ini, tapi aku selalu membesarkan hati mereka Aku berharap agar mereka dapat melupakan ayah meraka, sampai kapanpun. Hal itu aku lakukan agar anak-anakku tudak berkecil hati, tidak kecewa dan sakit hati.

"Lebih baik lupakan ayah kalian itu, nanti, jika kalian sudah besar, carilah dia ke Jakarta dan dia pasti menerima kalian secara baik," kataku, membesarkan hati dua anakku.

Setelah setahun menjadi janda, banyak pria yang mendekatiku, baik pria lajang maupun duda-duda , bahkan pria beristri. Tapi entah kenapa, hatiku belakangan ini menjadi dingin kepada kepada laki-laki. Yang ada di otak dan pikiranku hanyalah anakku. Dua buah hati yang menjadi jantung hidupku dan tumpuan harapanku.

Aku ingin mereka hidup bahagia, sukses di pendidikan dan sukses menapaki kehidupan mereka. Aku tidak lagi memikirkan kesenangan pribadiku, kebahagiaan pribadiku dan kepentingan pribadiku. Yang aku pikirkan hanyalah Heidy dan Arlita, dua gadis kecilku, yang kuharapkan kelak mereka menjadi apa yang mereka inginkan. Heidy bercita-cita menjadi seorang dokter sedangkan Arlita bercita-cita menjadi seorang insinyur.

Di luar dugaan, pada saat kami bersantai di rumah si Mbah, pada hari Minggu, sebuah mobil Jeep Mercy warna hijau tentara, masuk ke halaman rumah. Nomor polisi mobil itu berhuruf B, yang berarti kendaraan dari Jakarta, yang disetir oleh pria berkacamata hitam dengan jaket kulit warna coklat tua.

Pria itu tak lain adalah Mas Haris, mantan suamiku dan bapak dari dua anakku. Dua anakku menyambut Mas Haris dengan baik dan Mas Haris memeluk mereka berdua dengan erat. Aku berdiri di depan pintu rumah dan bergulat dengan batinku yang mumbuncah sejuta rasa, emosi jiwa dengan pancaran rasa gundah gulana.

Mulany aku berpikir ada orang lain di mobil itu, batinku, bisa saja istrinya, Anita ikut serta. Setelah berpelukan lama dengan dua anaknya, Mas Haris berdiri menjabat tanganku. Tidak berapa lama ibu dan ayahku datang dari kebun belakang dan Mas Haris mencium tangan kedua orangtuaku, mantan mertuanya. Mas Haris dipersilakan masuk, lalu masuk sambil memegang tangan dua anaknya, Arlita dan Heidy.

Seelah meminta maaf kepada kedua orangtuaku, atas kesalahannya selama ini dan kedua orangtuaku memaafkan, Mas Haris menceritakan keadaan hidupnya, di mana dia telah bercerai resmi dengan istrinya Anita.

Anita ternyata berselingkuh lagi dengan suami orang, suami teman kerjanya lalu berencana juga menikah dengan suaminya itu. Aku berlagak tidak mendengarkan cerita ini dan lalu aku pergi ke dapur memasak opor, kebetulan ayam dan kelapa serta bumbu-bumbunya sudah aku beli dari pagi, di Pasar Bringharjo belakang Jalan Malioboro. Aku naik sepeda motor matic bebek, setiap hari kerja dan untuk bepergian.

Di luar dugaanku, Mas Haris kembali melamar aku, meminta aku untuk kembali menjadi istrinya lagi kepada kedua orangtuaku. Ayah dan ibuku setuju saja atas lamaran itu, tapi mereka menyerahkan semuanya kepadaku. "Yng bersangkutan dengan masalah ini adalah Karina, bukan kami maka itu mintalah kepada Karina," kata ayahku nyantai saja kepada Mas Haris.

Mungkin karena hatiku masih terluka, trauma dan fobia atas kejadian masa lalu, maka aku tidak berniat sama sekali untuk menerima pinangan itu. Rasa benci dan rasa luka masih menggelayut batinku, utnuk itu aku menolak permintaan rujuk dari Mas Haris. "Tidak Mas, aku sudah betah hidup sendiri dan lebih nyaman dengan kesendirian ini, apalagi tinggal di kampung ini bersama dua anakku dan dekat dengan ayah dan ibu," kataku singkat.

Mendengar penolakan ini, Mas Haris nampak kecewa dan bersedih, tapi aku acuh tak acuh saja dengan kesedihannya itu. "Sebaiknya Mas Haris pulang buru-buru ke Jakarta, biarkan kami di sini, kami yang sudah tenang dan hidup tentram serta sangat berbahagia di daerah ini," kataku.

Tanpa kusadari, Mas Haris menagis dan menjatuhkan dirinya dikakiku lalu mencium kakiku, meminta maaf sebesar-besarnya dan berjanji tidak akan membuat kesalahan lagi. "Ayolah Karin, tolonglah aku, kembalilah bersamaku dan kita tinggal di Jakarta, dan sumpahlah aku dengan kitab suci bahwa aku bersumpah tidak akan berselingkuh lagi, Karin," harapnya.

Tanpa kusadari, dua anakku sudah berdiri di dekatku, Heidy dan Arlita. Kedua anakku lalu terduduk bersama papa mereka, keduanya menangis tersedu, sambil mengharapkan agar aku menerima papa mereka untuk dijadikan suami lagi. Setelah itu, mereka berharap kami kembali ke Jakarta dan menempati rumah kami di Rawamangun yang telah kosong.

"Ayolah Ma, terimalah Papa, Papa bersumpah akan berubah dan Papa berjanji akan membahagiakan kita di Jakarta, ayolah Ma," desis Arlita, sambil menangis. Setelah itu, Heidy juga berharap, juga menangis, menghendaki aku menerima ayah mereka dan kami kembali hidup rukun di ibukota.

Banyak hal yang bisa aku tolak di dalam kehidupan ini, tetapi ada satu hal yang paling tidak bisa aku tolak dalam hidup ini, yaitu adalah permintaan anak-anakku. Karena hal itu menjadi kehendak dan permintaan serius dua anakku, maka aku pun merubah pikiran.

Aku berusaha untuk menerima kembali Haris sebagai suami, walaupun dengan hati yang masih sangat berat. Aku lalu dipeluk oleh kedua anakku dan mereka menciuam pipiku bertubi-tubi pertanda senang hati, karena aku mau menerima ayah mereka untuk menjadi suami lagi.

Karena sudah nyaman bekerja dan tenang di Bantul, maka aku meminta kepada Mas Haris agar kami untuk sementara tetap di Bantul, sedangkan dia tetaplah di Jakarta. Setiap hari Jumat sore, menjelang liburan kerja, dia datang ke Bantul. Setelah diresmikan menikah lagi, rujuk, Mas Haris pulang ke Jakarta, lalu untuk selanjutnya dia pulang pergi Jakarta-Yogya untuk menjenguk kami.

Tanggal 17 Agustus 2012 lalu, di tengah bulan puasa, kami semua datang ke Jakarta. Niat kami, selain menengok rumah kami dulu di Rawamangun, kami juga mau jalan-jalan ke Dunia Fantasi, Ancol, dan Taman Mini. Begitu sampai di rumah kami di Rawmangun, tetangga kami Bu Endang datang menjengukku. Kami saling kangen dan berpelukkan erat dengan berurai airmata.

Bu Endang bukan seperti orang lain, dia sudah seperti saudaraku sendiri karena kami saling bantu membantu dan tolong menolong selama ini.. Semua keluarga besarnya dekat dengan aku, begitu juga anak-anakku, semuanya dekat dengan Bu Endang. Diam-diam, selama Anita menjadi istri Mas Harisdi rumah itu, Bu Endang mengintip kehidupan Anita, wanita yang telah tega merebut cinta suamiku itu.

Setiap malam Jumat, Anita pergi sendirian ke laut selatan tanpa sepengetahuan Haris. Bersama seorang dukun mumpuni, Ki Mandau Tajamah, 56 tahun, Bu Endang menerawang apa yang dilakukan oleh Anita di pantai selatan Banten itu. Syahdan, maka terkejutlah aku. rupanya untuk mendapatkan kecantikan dan resep awet muda, Anita memuja setan, memuja iblis dan bersekutu dengan makhluk terkutuk itu

Kata Ki Mandau, makin banyak Anita berselingkuhdengan suami orang, maka makin awet medalah dia. Makin banyak berselingkuh dengan laki orang, maka makin cantiklah dia. Perjanjian dengan iblis itu bernama Janji Keramat Malam, suatu janji untuk merusak rumah tangga orang agar kecantikannya, didigjayaan serta awet mudanya terus berlangsung.

Bila sudah sampai 100 laki orang yang direbut, maka Anita tidak akan tua-tua. Kulitnya akan semakin kencang bagaikan remaja terus dan kecantikannya terus bersinar bagaikan bidadari malam. Semua pria akan terkagum dengan keseksian tubuh, kekuningan kulit serta kecantikannya yang mahasempurna karena Janji Keramat Malam dengan iblis tersebut.

Ternyata, diam-diam, karena kasihan denganku, solider denganku, Bu Endang meminta Ki Mandau untuk meritual suamiku, melepaskan aji-aji iblis oleh Anita yang tersangkut padanya, hingga setelah sadar, dia langsung melepaskan Anita sebagai istri. Pantas saja, Mas Haris sekarang ini bukan saja benci, tapi mau muntah hanya mendengar nama Anita, mantan istrinya yang pemuja setan itu. Bahkan, kini, Anita menikah dengan seorang pria muda, suami dari seorang bintang film.

"Targetnya seratus pria beristri yang harus dirusak, sesuai perintah iblis yang jadi pujaannya," kata Bu Endang, sambil memelukku. Duh Gusti, aneh sekali seorang seperti Anita itu, yang cantik dan awet muda karena memuja setan, bersekutu dengan iblis demi keadaan lahiriyahnya yang sebenarnya sangat sementara. Tapi, jalan itu telah ditempuhnya dan ternyata membuatnya bahagia, walau pun neraka Jahannam telah menunggu di depan mata, di mana dia akan nyemplung ke api neraka, yang membakar hidupnya selamanya. (*)

Sumber: Misteri, Edisi 550, tahun 2013