Minggu, 03 Februari 2013

Tiga Malam Aku Mencarimu

Cerpen: Gegge Mappangewa

Dua Malam yang Lalu....
Kutelusuri Makasar di aantara gelapnya malam. Berjalan sendiri, meski aku tak lain hanyalah seorang pendatang baru di kota ini. Kota yag terkadang orang menilainya sebagai kota yang rawan tindakan kriminalitas. Aku tak ingin penilaian orang terhadap kota ini menjadi penghalang bagiku untuk mencarimu. Yah, aku mencarimu Kak Ewa. Mencarimu di antara harapan yang sungguh aku tak tahu sebesar apa.

Terkadang aku membangun harapan itu sebiru dan setinggi langit, namun aku sering terjaga jika harapan itu hanyalah mimpi. Bukankah kepergianmu meninggalkan Magelang, karena aku yang lebih memilih berlari ke pelukan Shei saat aku berada di persimpangan hati antara kau dan Shei. "Kak Ewa, jangan pinta aku memilih! Mundurlah dari kehidupanku demi kebahagiaanku dengan Shei!" Kamu membisu saat itu. Menatapku pun tidak!

"Wa, aku tahu kau terluka. Tapi bagaimana pun Shei begitu banyak membantuku. Membantu kehidupan aku dan adik-adikku sejak papaku meninggal."

Aku ingin sekali mendengar suaramu saat itu. Tapi sedikit pun bibir merahmu tak bergerak. Hanya sebuah langkah balik kanan dariku dan berlalu tanpa pernah menoleh sekali pun. Tapi di hatiku, kamu tidak pernah pergi. Kamu selalu ada di setiap keberadaanku. Di mana pun! Setelah kematian Papa, tiba-tiba saja Shei menyusul dan sungguh aku menjadi takut untuk memiliki seseorang. Selalu saja harus berakhir dengan duka hati. Itu yang membuatku datang mencari di sini. Mencoba mengais kembali serpihan hatimu yang pernah aku retakan. Mungkinkah?

"Losari, Daeng!" ucapku pada seorang tukang becak. Dan dengan negoisasi harga yang sudah pas aku naik dan dibawanya pergi. Dari tenda ke tenda aku mencarimu. Mencari wajah polosmu di antara para musisi jalanan. Tapi kau tetap tak ada. Padahal, seseorang pernah cerita jika kamu hampir tiap malam mengamen di sepanjang Losari. Lalu kemana lagi aku harus mencarimu?

"Kamu cari Ewa? Dulu dia sering ngamen di sini," tutur seorang pengamen yang sedikit membuatku menemui titik terang.

Aku mengangguk. Aku sedikit takut melihat penampilan cowok gondrong ini.

"Kamu siapa?"

"Aku adiknya Ewa," bohongku tanpa sedikit kegugupan.

"Nama?" tanyanya.

"Namaku Tiara!." Kulihat dia tersentak. Dia menatapku tajam. Dan kali ini aku gugup. Tatapannya seolah ingin menerkamku.

"Ewa telah mati!" ucapnya santai dan aku bisa membaca jika itu adalah sebuah kebohongan. Tapi kemudian dia beranjak pergi tanpa memperdulikan aku yang mengejarnya dengan seribu tanyan.

Kemarin Malam....
Losari kembali menjadi target pencarianku. Paling tidak, cowok gondrong itu akan kumintai keterangan. Aku tak peduli, apa yang harus aku dengar darinya tentangmu. Tapi hingga Losari sepi karena malam semakin beranjak, cowok gondrong itu tetap tak ada. Langkah gontaiku kuayun pulang. Menelusuri ptrotoar pantai Losari sambil mencari taksi yang akan membawaku pulang.

"Hei!"

Tiba-tiba cowok gondrong itu datang menghadang langkahku dan menyapaku dengan ramah.

"Kamu mau ketemu Ewa?"

Sebelum aku menjawab, cowok itu telah menyekap mulutku dan membawaku ke dalam mobilnya. Aku meronta ingin teriak, tapi setelah masuk di mobil, sebuah tissue yang berbau obat bius telah dia sekapkan ke hidungku. Hingga kemudian, aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Semua telah gelap!

Malam Ini....
Aku berada di kamar ini dari kemarin malam. Cowok gondrong itu telah membiusku dan mengurungku di sini. Aku baru terjaga setelah pagi. Itu pun dengan pintu kamar yang terkunci. Hingga malam ini. Hanya sebuah perlengkapan mandi yang belum pernah terpakai, kini tersimpan di sudut tempat tidurku. Juga mie instant dan roti tawar serta aneka soft drink yang tersimpan di lemari es.

Sudah jam tujuh malam. Sampai kapan aku harus terkurung di sini. Dan aku tiba-tiba menemukan akal untuk mencungkil pintu saat mataku tertuju pada sebuh obeng. Peluh bercucuran menemaniku mencungkil pintu kamar. Namun saat pintu berhasil terbuka. Sebuah deruh mesin mobil yang masuk pekarangan rumah terdengar olehku. Cepat aku menyelinap di antara ruang tamu, lalu bersembunyi di belakang kursi.

Napasku tersengal. Dari celah bawah kursi jelas sekali aku kulihat ada enam pasang kaki yang memasuki rumah. Satu di antaranya bahhkan memiliih duduk di kursi yang kupakai bersembunyi di belakangnya.

"Kamu tunggu aja di situ dulu!" ucap salah seorang di antara mereka lalu berjalan ke arah kamar tempatku disekap. Dadaku semakin berdebar tak karuan. Bagaimana mungkin aku bisa lari jika seseorang malah duduk di dekat tempat persembunyianku. Dan hanya selang beberapa menit, kembali aku terpikir untuk meraih keramik di sampingku lalu memukulkan dari belakang ke kepala orang yang kini duduk di kursi tempatku bersembunyi.

"Cewek itu melarikan diri," ucap seseorang dari dalam dan terdengar panik. Dan gerakanku untuk menyentuh keramik dan memukulkannya, terhenti. Meski sesaat kemudian, dari belakang, keramik itu kupukulka juga ke kepala orang yang duduk santai di ruang tamu.

Dan cowok yang tadi duduk sendiri di kursi itu tersungkur ke lantai. Dan itu kugunakan sebagai kesempatan untuk berlari. Aku berlari dan terus berlari di antara gelapnya malam. Meski aku tak tahu aku berada di mana. Hanya lalu lalang kendaraan yang terkadang membuatku bingung harus lari ke mana. Dan sayang, satu dari kendaraan yang lalu lalang itu menghempaskan tubuhku ke trotoar. Mengantarku ke dalam pekannya malam.

Tapi sebelum pekat itu sempurna. Antara sadar dan tidak, cowok gondrong kemarin malam yang ternyata mengejarku dari belakang, kini memapah tubuhku entah ke mana. Aku tak tahu lagi! Aku seperti terbius di antara rasa sakit di bagian tulang punggungku, akibat tertabrak mobil tadi.

"Tiara!"

Seolah dalam mimpi. Ada suara yang memanggil namaku. Dan aku tahu sekali jika itu adalah suaramu, Ewa! Mungkinkah kamu datang untuk menyelamatkanku? Atau kamu akan datang untuk menjemputku untuk menemaniku ke alam abadi, jika memang kamu telah meninggal.

"Tiara, aku Ewa!"

Kubuka mataku perlahan. Dan kudapatkan diriku dalam ruangan yang serba putih. Dari jam yang tergantung di dinding, kulihat jarumnya menunjukkan ke angka dua.

"Jam dua malam?" desisku.

"Ya, beberapa jam yang lalu kamu tertabrak mobil."

"Lalu kenapa dengan kepalamu?" tanyaku melihat kepalanya terbalut perban.

"Bukankah kamu yang memukulku tadi dengan keramik?" ucapnya dengan sebuah senyum manis.

Kutatap mata yang selama ini hilang dariku. Mata Ewa! Masihkah mungkin untuk kumiliki.

"Siapa yang membawaku ke sini?"

"Arbi," jawab Ewa sambil menggenggam tanganku.

"Siapa dia? Cowok gondrong itu?" kurasakan kebencian menyelinap ke balik dadaku yang sesak oleh rasa rindu untuk memeluk Ewa.

"Dia temanku saat ngamen dulu. Tapi menjadi seteruku kemudian karena seseorang pemilik cafe lebih memilih aku untuk main band di cafenya. Dia menculikmu dan meminta tebusan dariku."

"Kamu memberika tebusan itu?"

"Apa pun kuberikan demi kamu, Tiara. Kuharap jangan pernah pergi dariku lagi."

Malam ini pencarianku berakhir, dan sungguh aku tak pernah lagi mau mencarimu. Aku akan selalu mengikuti langkahmu. Kemana pun! (*)

0 komentar:

Posting Komentar