Jumat, 22 November 2013

Cinta Diantara Benci

Cinta Diantara BenciOleh: A. Yenny

Mario terlempar dan sebuah bayangan seperti roh keluar dari tubuhnya. Badannya jatuh di lantai dan tidak bergerak-gerak lagi.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • •


"Hei!! Chin!! Tunggu aku dong!" teriak seseorang. Aku membalikkan badanku untuk mencari asal suara itu. Aku melihat Finda di gerbang sekolah melambai-ambaikan tangannya padaku, lalu dia berlari kencang menghampiriku.

"Chin, kamu sudah dengar kalau ada anak baru?" tanyanya, serius.

"Kamu dengar dari mana tuh gosip? Kok aku tidak tahu, ya."

"Makanya bergaul dong. Jangan hanya di kelas melulu saat istirahat. Dasar kutu buku." Ledek Finda. "Pasti kamu penasaran. Hari ini anak itu masuk di kelas kita. Katanya sih pindahan dari Irja. Kalau tidak salah sih namanya... Mario," sambungnya lagi.

Aku termangu, mendengar gosip Finda. Kami sudah tiba di kelas, ternyata belum banyak yang datang. Aku tidak terlalu memperhatikan siapa yang telah datang, kalau Finda tidak menyenggolku.

"Chin. Lihat cowok itu yang sedang membaca di sudut? Mungkinkah dia Mario?" bisiknya.

Mungkin dia mendengar bisikan Finda yang memang cukup keras hingga dia mengangkat wajahnya. Dia memandang kami dan tersenyum.

Tidak dirasa seminggu Mario di kelasku. Mulanya aku tidak pedulikan dia, tapi karena aku merasa tidak enak pada Finda, aku membantu dia mengajari pelajaran yang tertinggal. Tanpa dirasa belajar, ke kantin, ke perpustakaan, ke toko buku, dan kemana saja selalu kami lakukan bersama-sama.

Berkali-kali Mario ingin tahu alamat rumahku, tapi aku selalu tidak mau memberitahu padanya. Aku tidak ingin dia datang ke rumahku, karena aku malu dengan rumahku yang kecil. Sedangkan rumahnya sangat besar. Hingga suatu saat, aku tidak dapat menolaknya, karena tanpa pemberitahuan atau meminta izin dia datang ke rumahku.

"Rio, dari mana kau tahu alamatku?"

"Pokoknya tidak akan aku beritahu! Titik!"

Tiba-tiba Mama keluar menegurku. "Chintya, ada tamu kok tidak diberi minum?!"

"Wah sori... sori. Aku lupa." Aku tersenyum malu-malu. Aku langsung ke dapur. Aku tidak tahu telah terjadi hal apa. Saat aku keluar, aku mendapati Mario sendirian, berdiri di depan pintu sambil merenung. "Hei! Kamu datang kesini untuk melamun atau bertamu sih?!"

Mario kaget saat aku menepuk pundaknya dengan keras. Ia langsung membalikkan badan dengan kasar. Aku kaget dan lebih kaget lagi saat wajahnya keruh dan memerah.

"Rio, kenapa kamu?"

"Chin, apakah kedatanganku mengganggumu. Mengapa Mamamu tidak senang melihatku?!"

"Apa yang Mama katakan padamu?"

"Saat kamu masuk tadi, Mamamu menghampiriku. Tapi setelah bertemu muka denganku, aku melihat Mamamu kaget dan langsung berubah sikap padaku, agak ketus. Walaupun tidak secara langsung, Mamamu mengusirku. Apa salahku Chin?"

Dengan lesu ia duduk di sampingku. Berkali-kali aku dengar ia menarik napas panjang. Aku mengerti perasaannya, karena kau pun kebingungan dengan sikap Mama, padahal selama teman-temanku datang, Mama tidak pernah bersikap seperti ini.

"Chin, aku mau pulang. Tapi... boleh aku minta tolong?"

"Apa? Kalau aku bisa, pasti kutolong."

"Bisa kamu tanyakan pada Mamamu, mengapa Mamamu bersikap demikian kepadaku? Boleh?"

"Tentu saja boleh. Aku pun ingin mengetahuinya."

"Thanks. Tapi kamu mau berjanji, biarpun itu menyakitkan, kamu tetap memberitahuku?"

"Ya, aku janji."

Saat Mario pulang, aku sebenarnya ingin bertanya langsung pada Mama, tapi aku takut kalau Mama masih marah. Jadi kutunggu sampai hati Mamatenang, barulah aku bertanya.

Tapi aku tidak perlu tunggu terlalu lama. Dua hari kemudian, tanpa kutanya Mama memberitahu sendiri padaku. Saat Papa, Mama, aku dan Shintya, adikku, sedang makan malam, Papa menyuruh kami tetap di meja makan sehabis makan, karena ada yang Mama ingin bicarakan dengan kami.

"Chintya, Shintya, ada yang Mama bicarakan. Mungkin Chin sudah bisa ditebak, memang ini tentang temanmu yang bernama Mario."

Kami semua diam mendengarkan, tidak berani komentar. Aku semakin tegang, padahal tadi sudah agak tenang.

"Mama sebenarnya bukan tidak senang kamu bergaul dengan Mario, Chin. Dulu saat Mama masih pacaran dengan Papamu, Mama bertemu dengan papanya Mario. Mama hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Tapi ternyata Papanya Mario menganggap perhatian Mama lain. Dia ingin Mama jadi pacarnya, tapi Mama menolak." Mama langsung memandang Papa dengan mesra.

"Saat dia mengetahui Mama akan menikah dengan Papamu, dia marah sekali. Papanya Mario menculik Mama dan memaksa Mama agar menikahinya dengan menggunakan ilmu hitam. Untung Mamamu dapat selamat berkat nenekmu yang memiliki kemampuan telepati, sehingga tahu dimana Mama disembunyikan. Sekarang Shintya yang mewarisi bakat paranormal dari nenek, bisa meraba apa yang akan terjadi, tapi gunanya untuk kebaikan."

Aku memandang Shintya dengan terkagum-kagum. Shintya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar cerita Mama.

"Pantas saja Ma. Belakangan ini Shintya selalu ketakutan kalau Kak Chin keluar. Beberapa kali Shintya melihat Kak Chin akan mengalami kejadian buruk. Tapi karena takut nggak beralasan, Shintya diam saja..."

Kami semua terhenyak mendengar hal itu dan saling pandang memandang.

"Baiklah, Mama akan melanjutkan cerita ini."

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Papa memandang Mama.

"Aku baik-baik saja. Benar!" Mama menekan kata-katanya, saat melihat Papa masih ragu-ragu. Akhirnya Papa mengangguk setuju. Mama kemudian melanjutkan kisahnya.

"Sesudah mengetahui keberadaan Mama, Nenek langsung datang, membantu Mama melawan Papanya Mario dan dia dapat dikalahkan. Sebelum melarkan diri, dia bersumpah akan kembali membalas dendam. Karena itulah Mama takut saat bertemu dengan Mario. Wajah Mario sangat mirip dengan Papanya, seperti pinang dibelah dua. Apalagi saat Mama bertanya siapa nama Papa dan Mamanya."

Aku hanya termangu mendengar cerita Mama. Aku tidak tahu harus berkata apa. Ruang makan menjadi sangat sunyi. Hanya detak jam dinding saja yang berbunyi.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Sebenarnya aku ingin menceritakan pada Mario keesokan harinya. Tapi aku takut dia tidak menerima kenyataan, karena dia sangat taat beribadah. Dan entah kenapa, sejak kepulangannya dari rumahku tempo hari dia semakin hari makin menjauh dari. Dia tidak seperti dulu lagi.

Tidak dirasa sudah dua bulan berlalu. Aku semakin tidak mengerti dengan sikapnya yang bertambah dingin. Dia kini banyak bergaul dengan anak-anak nakal di sekolah. Sering bolos dan berkelahi.

Hingga suatu hari, sikapnya berubah kembali seperti dulu. Sangat manis dan bersahabat. Kemudian, ia mengajakku ke rumahnya. Aku pun sudah kangen dengan Mamanya yang sangat ramahdan baik, karena itu aku mau. Tanpa kusadari ia tidak membawaku ke rumahnya, tapi entah kemana.

"Sudah ampai! Ayo turun! Jangan melamun saja!" tegurnya kasar saat melihatku tidak turun-turun dari mobil. Aku kaget. Saat aku sadar dari lamunanku, aku mendapati sebuah rumah yang sangat kuno dan tidak terawat.

"Rio, ini dimana? Kamu bilang..."

"Ah, kenapa kamu lupa? Ini kan rumah kita! Ayo masuk!" Dia langsung menarik tanganku dengan kasar. Aku ketakutan melihat tingkahnya yang beringas, apalagi dia menyebutku dengan nama lain.

"Santi, inilah rumah kitadan anak-anak kita. Lihatlah, aku merawat rumah ini dengan baik, bukan?"

Banyak sekali ocehan Mario, tapi aku tidak mendengar lagi. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya melarikan diri. Tiba-tiba Mario menyodorkan gaun pengantin yang sangat cantik.

"San, bagaimana gaun pengantin ini? Aku membelikan untukmu. Ayo, cobalah dulu!"

"Dia menarik tanganku dan memaksaku mencoba gaun itu. Tapi aku menolak. Perlahan-lahan aku dapat menepis ketakutan yang menguasai diriku dengan terus berdoa. Mario marah sekali sampai wajahnya merah padam. Tiba-tiba aku sadar, yang di depanku bukanlah Mario temanku, tapi seseorang yang mirip dengannya. Mendadak akupun ingat kalau nama Mamaku adalah Santi. Apakah dia Papanya Mario yang merasuki tubuh anaknya?

Perlahan-lahan wajah Mario berubah sangat menyeramkan. Tiba-tiba aku melihat Shintya berdiri di pint. Aku ingin menyuruhnya pergi, tapi suaraku tidak dapat keluar lagi. Tidak lama di belakangnya muncul seseorang yang tidak kukenal. Saat Mario tahu siapa yang datang, ia bertambah marah, wajahnya makin menyeramkan. Tiba-tiba aku merasakan ada hawa panas dan hawa dingin di sekelilingku.

Ada satu hentakan yang membuat Mario terlempar dan sebuah bayangan seperti roh keluar dari tubuh orang itu. Tubuhnya jatuh di lantai dan tidak bergerak-gerak lagi. Hawa panas dan dingin perlahan-lahan hilang. Aku pun jatuh lemas di lantai dan tidak ingat apa-apa lagi.

Saat aku sadar, ternyata diriku berada di kamarku sendiri. Samar-samar aku mendengar suara orang bicara di ruang tamu. Dengan perlahan-lahan aku berjalan ke sana.

"Chin, kenapa kamu keluar?" tegur Mama sambil memapahku duduk di kursi tamu. Aku melihat ada Mamanya Mario.

"Chintya, Tante ingin mengucapkan terima kasih."

"Untuk apa Tante?" tanyaku heran. Aku mash belum ingat apa yang telah terjadi padaku.

"Kamu telah menolong Mario."

"Ma, Chintya masih bingung, Sebenarnya apa yang telah terjadi?"

"Chin, kamu ingat saat Mario mengajakmu ke sebuah rumah?"

"Oh, iya iya, aku ingat sekarang, Ma."

"Nanti Mama jelaskan semuanya. Chin, Mama sekarang memperbolehkan kamu berteman lagi dengan Mario."

"Sungguh, Ma?! Terima kasih, Ma," aku langsung mencium Mamaku.

Aku sangat senang, karena aku sudah dapat berteman lagi dengan Mario. Sejak kejadian pada hari itu sikap Mario pun kembali seperti semula. Dan sejak kejadian ituPapanya tiba-tiba menghilang, tidak ada kabar beritanya.

Prestasinya di sekolah pun mulai meningkat lagi. Dan aku bertambah bahagia lagi saat Mario menyatakan perasaannya padaku, karena sudah sejak awal aku memang menyukainya, bahkan suka itu perlahan-lahan berubah menjadi cinta. (end)