Cerpen: Akhtiar Jannati Arini
Seperti perempuan lainnya, ketika jodohnya telah tiba, perempuan bernama Ambar yang tinggal di Gang Mawar itu menikahlah. Segera tersiar kabar: Ambar dan Umar menikah di Gang Mawar. Setahun kemudian tersiar kabar di Gang Mawar: Ambar mengandung.
Kepada Umar, Ambar berkata. "Kalau kendunganku membesar, bos supermarket tempatku bekerja pasti memecatku, sebab itulah peraturan di sana."
"Tapi apa. Aku bisa kerja lembur terus. Aku bisa ambil upahan apa saja pada hari Minggu. Malam aku bisa ngojek."
"Tapi, aku ingin, hari Minggu Kakak ada di rumah bersamaku dan bersama anak kita," kata Ambar seolah-olah anaknya sudah lahir. "Kakak juga jangan ngojek malam hari. Pikirkan kesehatan Kakak."
"Kalau aku tidak lembur dan tidak ngojek sampai malam, dari mana kita bisa menabung sedikit demi sedikit untuk biaya sekolah anak kita?" Ambar terdim. Umar membelainya dengan belaian yang meneduhkan.
Malam berikutnya, Ambar bertanya kepada Umar. "Kak, kue buatanku enak tidak?"
"Sangat! Mengapaa? Aku lupa memuji, ya? Maaf ya..."
"Nah, kalau enak, mengapa kita tidak jualan kue saja? Aku titipkan di warung-warung dan di pasar, Kakak bawa ke tempat Kakak kerja, Kakak tawarkan kalau-kalau ada orang hajatan yang mau pesan kue buatanku.."
Umar membelai kepala Ambar. "Istriku, istri nomor satu di dunia." Ambar merasa melambung ke langit lapisan tertinggi oleh pujian Umar.
Umar mencari pinjaman dari sana-sini untuk modal awal usaha. Lamban laun, mulai banyak orang yang memesan kue buatan Ambar. Umar tambah bersemangat mempromosikan kue buatan Ambar. "Tapi janji, ya... Ambar, kamu harus janji, mengasuh anak lebih penting daripada menjual kue sebanyak-banyaknya!"
"Oke, Bos! Siap laksanakan!"
Ketika anak Ambar lahir, Ambar memenuhi janjinya. Umar bersyukur sekali, anaknya terurus dengan baik. Tentu saja ia sangat bersyukur mengingat banyak anak orang lain yang tidak diasuh dengan baik oleh ibunya sendiri gara-gara sang ibu sibuk oleh pekerjaan atau usaha lain.
Tak lama kemudian, perempuan bernama Ambar itu mengandung lagi lalu melahirkan lagi, mengandung lalu melahirkan lagi, mengandung lalu melahirkan lagi. Dua anak perempuan dan dua anak laki-laki diamanahkan Allah baginya dan bagi suaminya. Umar menamai mereka: Jamilah, Hasan, Robiah, dan Sofyan.
Adapun lelaki bernama Umar itu, tiada henti-hentinya bersyuukur. Semua anaknya disusui sendiri oleh Ambar dengan tuntas. Ambar sendiri yang mengantar dan menjemput anak-anak mungil itu sekolah dan mengaji. Ambar bersusah payah mejalankan usaha kuenya, tetapi tetap memegang teguh janjinya: mengasuh anak-anak lebih penting daripada menjual kue sebanyak-banyaknnya.
Kalau Umar tidak bekerja sebagai buruh bangunan, ia memilih membantu Ambar membuat kue dan menjualnya daripada ngojek agar ia bisa lebih banyak bersama Ambar dan anak-anaknya.
Lama kelamaan, berkat promosi yang gencar dilakukan Umar, pesanan bertambah banyak, Ambar mulai merasa kesulitan menjalankan usaha itu sendiri. "Bagaimana kalau kita buat gerobak kue. Kita jualan di pinggir jalan . Mudah-mudahan laris dan lama-lama kita bisa sewa kios kecil di pinggir jalan...."
Umar terdiam. Ia berpikir. "Nanti dulu. Anak-anak kita masih kecil-kecil. Kalau kamu sibuk jualan di pinggir jalan, anak-anak kita bagaimana? Justru ketika mereka masih kecil-kecil, mereka butuh perhatian penuh dan didikan yang baik dari kamu sebagai ibunya. Mengapa tidak seperti selama ini saja. Kita buat kue di rumah. Orang-orang pesan, mengambi sendiri di rumah kita atau kita upah orang lain untuk mengantarnya?"
"Begini, Kak.... Maksudku, bagaimana kalau Kakak yang jualan di pinggir jalan.... Aku tetap di rumah, buat kue dan mengasuh anak-anak.... Yakinlah, Kak.... Anak-anak kita tetap terurus dengan baik semampuku."
Umar terdiam lebih lama. Berpikir lembih lama. "Godaan" untuk dapat uang lebih banyak menari-nari dalam angannya. Namun, bersamaan dengan itu, ia merasa harga dirinya sebagai lelaki dan sebagai kepala rumah tangga mulai terusik.
"Begini.... Sejak awal, ini usaha kamu,'kan? Aku senang. Aku dukung. Tapi, ingat, niat awal kamu, dan yang aku bayangkan selama ini, kamu melakukan itu untuk membantu suami menambah penghasilan keluarga. Bukan untuk mengambil alih tanggung jawabku mencari nafkah. Kalau kamu suruh aku yang jualan di pinggir jalan, berarti kamu suruh aku berhenti jadi buruh bangunan! Artinya apa? Artinya, sejak saat itu aku tidak lagi cari nafkah sendiri untuk kamu dan anak-aank! Artinya apa? Artinya, aku tergantung padamu paadahal aku suamimu!"
"Kata siapa, Kak? Ini usaha kita bersama. Kakak yang cari modal awalnya, 'kan? Kakak yang promosikan, Kakak bantu aku antar kue ke pembeli yang memesan. Kakak juga bantu aku buat kue kalau Kakak sedang tidak kerja."
Umar diam seribu bahasa. Ambar akhirnya berkata. "Sekali lagi aku mohon maaf, Kak! Tolong lupakan saja permintaanku tadi."
"Ya, sudahlah! Aku maafkan.... Aku mau pergi dulu, takziah ke rumah kenalan di kampung sebelah." Ambar mengantar Umar sampai ke pintu dengan air mata berurai. Ia menyesal telah membuat hati suaminya terluka.
Baru beberapa langkah Umar berlalu, Ustadzah Arni mengetuk pintu. Ia hendak memesan kue untuk konsumsi jemaah yang akan menghadiri peringatan Tahun Baru Hijriyah. Ambar buru-buru menghapus air matanya, tetapi bekas menagis masih terlihat oleh Ustadzah Arni.
Karena Ustadzah Arni terkenal dapat dipercaya menjaga rahasia dan sering dapat memberikan solusi atas masalah rumah tangga, Ambar curhat padanya. Lagi pula, Ustadzah Arni adalah bibinya sendiri. "Aturlah agar kita bertiga dengan suamimu dapat bicara dari hati ke hati. Insya Allah ada jalan keluarnya."
Dalam pertemuan itu, Ustadzah Arni berkata, "Kau lelaki yang baik, Umar. Kau tidak mau makan keringat istrimu. Aku kagum padamu. Sebelumnya maafkan aku kalau aku kau anggap mencampuri urusan rumah tanggamu. Tapi, aku ini bibi kalian. Aku ingin yang terbaik untuk kalian. Keputusanmu Umar, kuakui, sangat baik dan sangat tepat, Begitulah seharusnya lelaki. Ambar sangat beruntung,menjadi istrimu. Tapi, maukah kalian kutawarkan sesuatu yang lebih baik lagi?"
Muqoddimah yang disampaikan Ustadzah Arni mampu mencairkan egoisme Umar sebagai lelaki. Ia mengangguk.
"Usaha kue kalian harus dipertahankan dan harus dikembangkan. Melihat perkembangannya selama ini, usaha kue kecil-kecilan ini dapat bertahan lama bahkan dapat lebh maju asal kalian lebih serius dalam penjualan. Memancing minat beli dengan memajang kue di gerobak di pinggir jalan ada baiknya dilakukan selain menunggu pesanan datang ke rumah kalian."
"Maaf, Bibi sudah tahu penirianku...," Umar menyela.
"Karena itu, kutawarkan padamu begini. Kau beli usaha kue itu dari Ambar. Suruh Ambar hitung berapa nilai usahanya sekarang. Belilah usaha itu supaya jadi milikmu. Terserah kalian mau kontan atau dicicil. Sesuadah itu, suruh Ambar bekerja padamu sebagai pembuat kue. Kau gaji dia sebagai pembuat kue. Maka, seluruh keuntungan akan merupakan hasil usahamu sebagai suami. Maka, kau tak perlu lagi merasa tergantung pada istrimu sebab nyatanya kaulah yang mengelola dan menentukan, kau bos-nya...."
Wajah Umar cerah. Itu gagasan yang "aneh" tapi cemerlang. Pantas saja banyak orang yang meminta bantuan kepada bibinya itu untuk menyelesaikan masalah tertentu. Namun, wajah cerah Umar segera meredup. "Aku tak punya uang...."
"Kau boleh pinjam uangku. Aku sudah minta izin suamiku untuk meminjamkan uang kepadamu. Tapi harus ada surat perjanjian bahwa utangmu akan kau lunasi.... Kita buat perjanji itu di rumahku. undanglah Ketua Masjid sebagai saksi di pihakku, dan Ketua Seksi Peribadatan Masjid sabagai saksi di pihakmu. Jangan lupa undang Ketua RT untuk mengetahui perjanjian itu!"
Ambar tersenyum dalam hatinya. Gagasan agar Umar membeli usaha kuenya itu murni gagasan Ustadzah Arni, sedangkan gagasan mengundang Ketua Masjid dan Ketua Seksi Peribadatan Masjid sebagai saksi serta Ketua RT sebagai pejabat yang mengetahui perjanjian itu adalah gagasan Ambar. Tujuannya agar tanpa harus cerita dan menjelaskan dengan siapa-siapa, berita akan tersebar dengan cepat dari mulut ketiga orang itu bahwa: usaha kue itu telah "sah" berpindah tangan menjadi milik umar karena ia telah membelinya meskipun membeli dengan istrinya sendiri, bahwa bukan Ambar yang "berkuasa" atas usaha itu, melainkan Umar.
Begitulah sebagian kisah dari perempuan bernama Ambar, yang tinggal dan menikah di Gang Mawar, hidup bahagia bersama suami dan anak-anaknya di Gang Mawar.
Dari mana aku tahu kisah itu?Aku tahu kisah itu sejak lama sebab aku juga tinggal di Gang Mawar. Untuk apa kukisahkan kepadamu? Untuk membanggakan perempuan bernama Ambar itu: perempuan yang menguras tenaga dan pikirannya untuk membantu menambah penghasilan keluarga, tetapi tetap mengasuh dan mendidik anak-anaknya: perempuan yang ikhlas melakukan yang terbaik agar dapat mengumpulkan rezeki untuk biaya pendidikan anak-anaknya tanpa membuat suaminya merasa kehilangan harga diri.
Mengapa kubanggakan ia, perempuan bernama Ambar itu? Sebab sejak berada dalam rahimnya, aku telah merasakan kasih sayangnya yang total! Sebab sejak keluar dari rahimnya, aku merasakan usahanya yang gigih agar aku dapat mengenal Allah dan selalu merasa dalam pengawasan Allah!.
Kenalkan namaku Jamilah bin Umar: Adik-adikku ada tiga: Hasan bin Umar, Robiah bn Umar, dan Sofyan bin Umar. Ya! Ibuku Ambar, bapaku Umar, kami tinggal di Gang Mawar. (*)
Sematera Ekspres, Minggu, 31 Maret 2013
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
0 komentar:
Posting Komentar