Rabu, 23 April 2014

Membuat Pagar Gaib

Membuat Pagar Gaib


Suasana pun terasa berubah, kini, ia bisa tidur dengan nyenyak dan tidak ada lagi rasa khawatir yang menggayuti perasaannya.......

________________________________________

Burhan mendadak gelisah. Pasalnya, saat ini mulai memasukan barang-barang ke rumah barunya yang terletak di salah satu kompleks perumahan di timur Jakarta, tiba-tiba, satpam yang tengah patroli bergumam; "Alhamdulillah, sudah ada yang nempati. Mudah-mudahan gak serem lagi."

Gumaman itu terus saja terngiang-ngiang di telinga Burhan, sehingga membuatnya menjadi risau. Kian hari, perasaan itu kian mencekam, apa lagi, tetangga baru yabg mukim di sebelah depan, rumahnya dibobol maling, sehingga beberapa perhiasan milik istrinya pun raib.

"Ternyata benar apa kata orang-orang tua, mukim atau berkumpul di tengah-tengah keluarga lebih nyaman," desisnya.

"Maksudnya?" Tanya Puji, sang istri dengan cemberut.

"Ya ... kalau rumah kita dikelilingi oleh rumah-rumah keluarga, rasanya lebih aman. Bayangkan, hampir tiap hari, aku harus gelisah. Tidur tidak pernah nyanyak, kalau di kantor, perasaanku selalu was-was," sahut Burhan dengan nada yang mulai tiinggi.

Melihat keadaan sang suami yang mulai emosi, Puji hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan menangis. "Rasanya, punya rumah bekannya bertambah tenang...," gumamnya.

Burhan langsung tersentak. Ia langsung memeluk Puji, sang istri yang tengah mengandung muda itu. "Yah ... aku hanya ingin, rumah ini menjadi istana keluarga kita. Tetapi apa daya, cerita-cerita dan kejadian yang menimpa tetangga kita, membuatku menjadi was-was," kata Burhan sambil membelai rambut istrinya dengan penuh kasih.

Puji pun langsung bersandar di dada bidang Burhan sambil berkata menenangkan; "Serahkan semuanya kepada Allah, karena, hanya kepada Dia kita meminta, menyembah dan kembali nantinya."

Burhan bagai tersentak. Akhirnya, ia langsung mendekap lebih erat tubuh istrinya sambil menghembuskan napas panjang. Ya ... Burhan seolah mendapatkan jawaban dari kegelisahan selama ini.

Tampaknya, ketenangan keluarga muda itu tak berlangsung lama. Menginjak bulan ketiga, satpam yang biasa berkeliling mendadak berteriak keras, "Toloooong ...!" Dan langsung jatuh pingsan tepat di depan rumah Burhan.

Kegundahan pun terjadi. Burhan, Rangga, Chandra, dan Oca yang rumahnya saling berhadapan itupun langsung saja keluar dan memberikan pertolongan. Mereka saling bersitatap karena benar-benar tak mengerti apa yang telah terjadi. Dan setelah diberi pertolongan seperlunya, Rusdi, sang satpam pun sadar.

Setelah meminum beberapa teguk air dan menenangkan diri beberapa saat, akhirnya, Rusdi pun bercerita. "Tadi saya melihat ada bayangan dua orang di jendela rumah Pak Burhan. Begitu saya dekati, mendadak, bayangan itu hilang dan tercium bau bangkai yang amat menyengat. Ketika berbalik, di depan saya, tampak sesosok tubuh tanpa kepala dalam keadaan yang sangat rusak. Ketika itu, saya hanya bisa berteriak minta tolong dan tak ingat apa-apa lagi...."

Sebenarnya, Burhan, Rangga, Chandra, dan Oca ingin merahasiakan apa yang dikatakan oleh Rusdi kepada para istrinya. Tetapi apa daya, istri Burhan dn Chandra diam-diam mendengarkan segala ocehan Rusdi dengan sangat gamblang. Maklum, mereka bicara sambil berdiri di depan rumah Burhan.

Ahkirnya, Rusdi yang memang tak pernah mengenal rasa takut itu mohon diri untuk kembali bertugas. Sementara, keempat lelaki muda itupun kembali ke rumah masing-masing....

Sejak kejadian itu, perumahan yang baru dihuni oleh puluhan keluarga muda itu tampak lengang. Tak seperti biasanya, bila malam menjelang, orang lebih senang berada di rumah masing-masing ketimbang duduk-duduk di taman yang ada di sudut jalan itu. Ya ... semua penghuni dicekam oleh ketakutan yang teramat sangat. Apa lagi, berita tentang kejadian itu dengan cepat menyebar ke seluruh kompleks.

Seperti kebiasaan; tiap Minggu pagi, semua keluarga biasa duduk-duduk atau berolah raga ringan di taman yang ada di sudut kompleks. Nah ... pada waktu itu, langsung terdengar beragam komentar tentang peristiwa yang menimpa Rusdi, salah satu satpam kompleks. Ada yang menanggapinya dengan dingin, seolah menunjukkan tidak terganggu, tetapi banyak juga yang mengeluarkan umpatan; "Developernya cuma cari untung, masak jual rumah plus sama setannya."

"Mungkin waktu mbangun gak pake slametan segala," kata salah seorang keluarga muda yang mengaku tahu keadaan perumahan itu jauh sebelum dibangun. "Sebab, dulu, di sini rawa yang tengah-tengahnya tumbuh pohon rengas yang angker ada di tengah-tengahnya," tambanya.

"Selain buat hinggap kelelawar, di pohon rengas itu itu juga ada 'perkutut majapahit' ... burung perkutut putih yang suaranya merdu tetapi susah ditangkap," imbuhnya dengan bangga.

Burhan tercekat, betapa tidak, semasa di kampungnya, Nganjuk, Jawa Timur, ia pernah mendengar betapa perkutut majapahit bisa berubah wujud menjadi ular brbisa --- dan konon, hanya yang beruntung atau berwatak baik yang bisa memelihara binatang keramat itu. Oleh karena itu, ia enggan untuk menimpali, bahkan, ketika di rumah, ia juga tidak menceritakan apa yang didengarnya kepada istrinya.

Malam kian tua, suara lolongan anjing yang kadang terdengar membuat bulu kudk siapa pun bakal meremang. Di tengah-tengah tidur pulasnya. Mendadak, telinga Burhan, samar mendengar ketukan di pintunya; "Asalamu'alaikum."

Dengan malas, Burhan pun menyahut sambil berjalan ke arah pintu; "Wa'alaikumsalam."

Burhan mengintip dari balik tirai, ternyata, Rusdi datang dengan seseorang. Setelah Burhan membukakan pintu, terdengar suara Rusdi; "Maaf Pak Burhan, saya mengantrkan tamu."

"Hai ... Aru," teriak Burhan sambil menghambur memeluk tamunya.

Setelah saling mengucapkan terima kasih, Burhan pun mempersilahkan Aru, sahabatnya untuk masuk, sementara, Rusdi kembali ke pos-nya. Di tengah-tengah keduanya asik brbincang melepas kerinduan, Puji pun terjaga dan keluar dari kamar. "Eh ... Aru, dari mana kok malem banget," berondongnya.

"Mau kopi ya," imbuhnya sambl berjalan ke arah dapur.

Aru hanya tersenyum, ia tak pernah merasa sungkan karena ketiganya memang merupakan sahabat karib sejak di kampus.

"Kalau ada dan gak males, nasi goren juga boleh," sahut Aru sambil tertawa.

"Beres," sahut Puji. Dan tak lama kemudian, terdengar kesbukan di dapur. Tak sampai lima belas menit, Puji sudah kembali dengan dua gelas kopi, sepiring nasi goren dan makanan kecil.

Ketiganya langsung duduk melepaskan kerinduan. Maklum, sudah dua tahun mereka tidak bertemu kecuali hanya mengirim berita leawt SMS atau telepon. Dalam pembicaraan,, akhirnya, tak sadar, Burhan mengeluhkan keangkeran kompleks tempatnya tinggal. Aru yang memang keturunan suku Dayak Punan dengan tekun mendengarkan dan sesekali mengeluarkan senyum.

"Sebenarnya, hal itu mudah ditangkal kalau tahu caranya," ujarnya dengan dingin.

"Maksudnya?" Potong Burhan dan Puji bersamaan.

"Buat pagar gaib. Pertama-tama, ambil sebilah pisau yang sudah tidak terpakai, kalau mungkin yang sudah berkarat, segenggam garam yang kasar, bangle seruas, bawang putih tunggal sebuah, jeruk purut yang lonjong sebutir. Semua bahan tadi masukkan dalam kantong berwarna merah dan letakkan di atas pintu atau bubungan rumah," ujarnya kalem.

"Biasanya, berbagai gangguan yang bersifat buruk, baik dari manusia atau pun makhluk halus tidak berani masuk," imbuhnya.

"Akan lebih baik dan semakin kuat jika kalian tidak meninggalkan shalat dan tiap malam Jumat mengaji di rumah," lanjutnya lagi.

Paginya, Burhan yang memang sudah mencatat segala keperluan yang semalam diterangkan oleh Aru langsung berbelanja ke pasar. Dan setelah itu, ia langsung memsukkannya ke dalam kantong berwarna merah dan menggantungkannya di bubungan rumahnya. Sejak itu, suasana di dalam rumah Burhan pun terasa lebih sejuk dari sebelumnya. Kini, keduanya boleh tersenyum dan tidar dengan nyenyak. (*)

0 komentar:

Posting Komentar